Tekan TBC, Pemerintah Targetkan Pemeriksaan Kesehatan Gratis ke 52 Juta Penduduk

Jakarta, GPriority.co.id – Pemerintah tengah berupaya menekan kasus Tuberkulosis (TBC). Pasalnya, penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan serius, dengan angka kematian lebih tinggi dibandingkan Covid-19.

Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi menyatakan pemerintah menargetkan pemeriksaan kesehatan gratis bagi 52 juta penduduk pada tahun 2025.

Fokus pemeriksaan kesehatan gratis tersebut pada pendeteksian dini penyakit seperti TBC dan penyakit katastrofik lainnya. Hasan mengungkapkan program ini tidak hanya mencakup perbaikan infrastruktur sekolah dan sanitasi, tetapi juga aspek preventif kesehatan.

“Aspek menjaga supaya pembiayaan-pembiayaan kuratif ini juga tidak menjadi beban yang terlalu besar nanti. Dan ini dicantumkan, sudah ada dalam rencana program pemerintahan berikutnya untuk pemeriksaan kesehatan gratis,” ujar Hasan dalam Media Workshop BPJS Kesehatan, Rabu (25/9).

Kemudian, dalam program jangka panjang, Hasan menyampaikan pemerintah menargetkan pemeriksaan medis rutin untuk 200 juta orang dalam lima tahun. Pada tahun 2025, prioritas akan diberikan kepada kelompok rentan seperti orang berusia di atas 50 tahun.

Mereka yang berisiko terkena penyakit seperti TBC juga menjadi sasaran program ini. Sementara itu, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ghufron Mukti mengungkapkan bahwa saat ini ada empat masalah utama dalam penanganan TBC di Indonesia. 

Pertama, masyarakat tidak disiplin dalam menjalani pengobatan TBC yang memerlukan waktu minimal enam bulan. Banyak pasien merasa sembuh setelah dua atau tiga kali pengobatan dan berhenti, sehingga penyakit ini terus menular di masyarakat. 

“Akhirnya apa yang terjadi? Masih menular rumah ke rumah, serumah tertular semua, akhirnya Indonesia jumlah yang meninggal, karena TB jauh lebih banyak daripada RRC yang penduduknya 1,4 miliar,” kata Ghufron dikutip, Rabu (25/9).

Masalah kedua adalah fasilitas kesehatan yang kurang melaporkan kasus TBC, terutama di sektor swasta. Menurut Ghufron, meskipun pengobatan TBC sudah tersedia di Puskesmas, banyak pasien lebih memilih berobat ke klinik atau rumah sakit swasta. 

Ketiga, jalur distribusi obat TBC di Indonesia masih mengalami hambatan. Sebagian besar obat untuk TBC didistribusikan melalui Puskesmas dengan dukungan Global Fund, bukan sepenuhnya dari pemerintah. Namun, mayoritas pasien TBC justru berobat di fasilitas kesehatan swasta, sehingga distribusi obat tidak terintegrasi dengan baik.

Keempat, Ghufron juga menyoroti bahwa program pengobatan TBC di Indonesia masih membutuhkan dana tambahan. Meskipun demikian, Ghufron menyatakan optimisme bahwa dengan kerja sama berbagai pihak, masalah TBC di Indonesia bisa diatasi.

Meskipun BPJS Kesehatan bukan institusi utama yang bertanggung jawab menangani penyakit menular seperti TBC, pihaknya siap membantu.

“Pakai strategic purchasing, yaitu kalau mengobati tadi harus sampai sembuh. Dokter harus terinspirasi untuk kepengin ngobati sampai sembuh,” katanya.

“Kalau pasien dua kali (datang merasa-red) enak, terus hilang, namanya drop out, harus dicari. Apa yang mendorong (untuk-red) dicari, kita kasih insentif.” 

“Kalau (akhirnya-red) bisa (diobati-red) sampai sembuh, kita kasih Rp500.000, (untuk-red) sekarang Rp150.000. Tapi, ini baru pilotin di empat daerah,” kata Ghufron.

Foto: BPJS Kesehatan