Melirik Perempuan Kuping Panjang di Pedalaman Suku Dayak

Indonesia memang memiliki ribuan suku yang tersebar di 33 provinsi, tidak heran jika kebudayaan serta tradisi yang dimiliki pun beragam. Hal ini dapat dilihat dengan adanya tradisi memanjangkan daun telinga yang dilakukan suku Dayak di Kalimantan. Jika selama ini kita lebih mengetahui tradisi ini ditujukan untuk perempuan, nyatanya tidak demikian. Tradisi memanjangkan daun telinga ini juga berlaku bagi laki-laki, namun jarang dilakukan karena alasan tertentu.

            Tradisi memanjangkan daun telinga ini disebut dengan “telingaan aruu” oleh masyarakat setempat dan sudah dilakukan turun temurun. Untuk membuat daun telinga menjadi panjang, dibutuhkan anting pemberat berupa logam yang berbentuk lingkaran yang biasa disebut “bealong”. Memasangkan bealong juga tidak boleh sembarangan, melainkan harus melalui ritual yang dinamakan “nucuk penikng” atau penindikan daun telinga.

            Belaong juga dibedakan menjadi dua jenis, yakni hisang semhaa yang dipasang di sekeliling lubang daun telinga dan hisang kavaat yang dipakai di lubang daun telinga. Namun kini kebanyakan suku Dayak menggunakan hisang kavaat. Proses pemanjangan daun telinga ini biasanya dilakukan saat bayi, awal mulanya telinga ditindik dan diberi hiasan berupa benang, setelah luka tindikan sembuh lalu diganti dengan pintalan kayu gambus yang jika terkena air akan mengembang sehingga lubang di daun telinga pun ikut membesar.

            Seiring dengan bertambahnya usia anting-anting atau belaong mulai ditambahkan beratnya hingga mencapai 0,5Kg. Untuk perempuan biasanya panjang daun telinga ialah sedada, sedangkan untuk kaum pria hanya diperbolehkan sepanjang pundak. Tradisi telingaan aru dilakukan sebagai penanda tingkat sosial, dimana semakin panjang daun telinga maka semakin tingga juga derajat sosial yang dimilikinya. Namun ada juga yang berpendapat, tradisi ini dilakukan untuk melatih kesabaran dan mendatangkan rezeki.

            Diketahui di suku Dayak sendiri terdapat 405 sub-suku dan yang masih mempertahankan tradisi ini, ialah suku Dayak Kenyah, Dayak Bahau, Dayak Penihing, Dayak Kayan dan Dayak Iban. Seperti suku Dayak Kenyah yang mempunyai suatu perkampungan bernama Kampung Bena Baru yang berada disekitar Sungai Kelay dihuni sekitar 700 jiwa penduduk tetap masih mempertahankan tradisi telingaan aru. Terdapat sekitar 20 perempuan yang masih mengenakan belaong di telinga mereka.

            Suasana tradisional sangat tampak di kampung Bena Baru ini, masih banyak terlihat penduduknya yang mengenakan pakaian adat khas suku Dayak Kenyah yang dihiasi dengan manik-manik serta motif daun paku. Bajunya sendiri berbentuk seperti rompi, sedangkan untuk bawahannya mereka memakai rok panjang yang juga dihiasi dengan manik-manik. Bagi perempuan kampung Bena Baru yang sudah berusia 50 tahun keatas, mereka juga memakai topi putih yang bentuknya persis seperti peci.

            Ternyata di kampung Bena Baru tidak hanya ada tradisi telingaan aru tapi juga mereka mentato sebagian tubuhnya dengan motif tradisional. Biasanya bagian tubuh yang sering ditato ialah lengan dan kaki, fakta mengejutkannya hampir kebanyakan perempuan di kampung Bena Baru yang melakukan tradisi mentato ini bukan laki-laki. Hal ini ditujukan sebagai pembeda antara perempuan bangsawan dengan rakyat biasa. Selain itu, tato juga digambarkan sebagai perwakilan pengalaman hidup mengembara ke negeri lain. 

            Namun kini sudah jarang suku Dayak yang melanjutkan tradisi telingaan aru dikarenakan banyak yang beranggapan bahwa tradisi ini bisa menyakiti diri sendiri. Dilain sisi banyak yang berpendapat, sejak dimulainya konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia di perbatasan Kalimantan, mengenai pandangan masyarakat yang masih menjalankan tradisi telingaan aru dianggap tidak modern. Oleh karena itu hanya perempuan suku Dayak yang berusia diatas 60 tahun saja yang masih melestarikan tradisi ini.

Untuk tetap melestarikan tradisi telingaan aru bahkan pemerintah kota Samarinda mendirikan perkampungan budaya suku Dayak yang diberi nama “Desa Budaya Pampang” yang terletak di Sungai Siring, Kota Samarinda, Kalimantan Timur dan berisikan sekitar 1.000 warga suku Dayak yang masih hidup secara tradisional bersama dengan adat dan istiadat mereka, termasuk tradisi telingaan aru ini. Desa Budaya Pampang ini sudah diresmikan sejak 1991 karena dirasa memiliki daya tarik yang kuat bagi wisatawan luar. (Qra.Foto:Istimewa)