79 Tahun Indonesia, Anggaran Pendidikan Belum Mampu Memenuhi Kuantitas dan Kualitas Pendidikan

Oleh : Devita Anggraini, Mahasiswi Domisili di Citayam, Bogor

Sejak 2009 alokasi anggaran pendidikan dalam APBN ditetapkan sebanyak 20%. Untuk tahun ini alokasi terbesar ialah untuk transfer ke daerah yakni sebesar Rp 346,56 triliun atau 52,1%. Meski demikian hingga kini banyak warga masyarakat belum merasakan soal kuantitas dan kualitas pendidikan di daerahnya.

Impian setiap orangtua ialah ingin mendapatkan pendidikan terbaik bagi anaknya. Sekolah negeri favorit pun pada setiap tahun ajaran baru menjadi tujuannya. Ini adalah sharing pengalaman banyak orangtua di Kabupaten Bogor saat ingin mendaftarkan anaknya di sekolah negeri idamannya pada tahun ajaran baru 2024. Sebagai gambaran, SMP Negeri 2 Bojonggede adalah salah satu tujuan favorit orangtua yang domisili disekitar Citayam, Tugu Macan, hingga Susukan dan sekitarnya.

Sejatinya banyak jalur untuk mendaftar di sekolah tersebut baik afirmasi, prestasi atau zonasi. Sayangnya jalur tersebut bukan jaminan untuk masuk ke sekolah tersebut dengan mudah. Sudah rahasia umum untuk masuk ke sekolah tersebut diperlukan ‘pelicin’ yang berkisar antara Rp5 hingga 7 juta rupiah bekerjasama dengan oknum setempat.

Banyak calon orangtua murid bercerita walau anaknya memiliki prestasi akademik atau olahraga tak serta merta bisa mendapatkan bangku sekolah. Adapula warga tempatan yang secara zonasi dekat dengan sekolah tak juga mendapatkan bangku. Sebaliknya mereka yang jauh secara zonasi, bahkan tak memiliki KTP setempat bisa mendapatkan tempat di sekolah tersebut. Permainan aneh bin ajaib ini berlangsung tiap tahun ajaran baru dengan mulus tanpa ada yang mempersoalkannya.

Luasnya wilayah Kabupaten Bogor memang tak sebanding dengan hadirnya sekolah negeri yang ada. Meski begitu, persoalan minimnya kuantitas sekolah ini bukan berarti menjadi ajang kongkalikong mendapatkan cuan bagi oknum. Memang masih ada sekolah swasta jika impian bersekolah di negeri tak kesampaian. Namun di sisi lain masih banyak masyarakat yang merasa kurang mampu secara finansial untuk mensekolahkan anaknya di sekolah swasta. Pilihan ini akhirnya terpaksa dilakoni dengan himpitan ekonomi saat ini yang kian sulit.

Jika secara kuantitas jumlah sekolah masih jauh dari harapan apalagi secara kualitas? Soal kualitas sepanjang pengamatan saya, sekolah dengan level internasional yang notabene swasta dengan tarif ‘wah’ lah yang memilikinya. Lulusannya pun banyak memiliki kualitas mumpuni untuk bersaing ke jenjang berikutnya.

Persoalan pendidikan di daerah memang identik dengan anggaran pendidikan. Meski begitu sejak tahun 2009 sesuai dengan Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20% dari total APBN. Anggaran pendidikan tahun ini dialokasikan sebesar Rp 665,02 triliun. Anggaran tersebut naik 7% dibandingkan 2023. Alokasi anggaran pendidikan 2024 tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2023 tentang Rincian APBN 2024. Menariknya, anggaran terbesar dialokasikan untuk transfer ke daerah yakni Rp 346,56 triliun atau 52,1%.

Transfer pendidikan APBN itu dilakukan langsung ke daerah untuk membantu berbagai kebutuhan bidang pendidikan di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini diharapkan agar meratanya akses dan mutu layanan pendidikan di berbagai daerah tersebut.

Pemerintah juga mengharuskan setiap daerah harus mengalokasikan anggaran minimal 20% dari APBD untuk kebutuhan penyelenggaraan pendidikan. Pemerintah melalui Kemendikbudristek berulangkali menekankan, anggaran fungsi pendidikan yang ditransfer ke daerah tersebut seharusnya tidak menjadikan pemerintah daerah untuk tidak mengalokasikan anggaran pendidikan di daerahnya. Sesuai amanat undang-undang, pemerintah daerah juga harus mengalokasikan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).

Namun kenyataannya menurut Kemendikbudristek masih ditemukan daerah-daerah yang menerima transfer dana APBN berupa Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus yang kemudian dimasukan dalam postur anggaran pendidikan daerah tersebut. Padahal seharusnya 20 persen anggaran fungsi pendidikan daerah tersebut berasal dari APBD murni. Hal ini bisa dikecualikan apabila daerah tersebut dalam kondisi darurat sehingga tidak bisa mengalokasikannya.

Dalam rapat Komisi X DPR dengan Kemendikbudristek dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) medio Juni lalu, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf Macan Effendy mengatakan meski dana terbesar dikelola daerah, kualitas pendidikan saat ini masih belum merata dan biayanya mahal. “Anggaran pendidikan ini jauh panggang dari api,” sebutnya.

Senada, Pejabat Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah, Kemendagri, Horas Maurits Panjaitan, menyatakan hal yang sama. Kemendagri mencatat masih adanya permasalahan pengelolaan dana pendidikan di daerah. “Layanan pendidikan masih belum merata, termasuk juga berkaitan dengan kualitas pendidikan yang masih rendah,” terangnya.

Menurutnya, beberapa pendanaan di 514 kabupaten dan kota yang menghasilkan anggaran pendidikan belum tercapai 20 persen meski ada transfer dari pemerintah pusat. Besaran belanja dan kinerja mandatory spending (pengeluaran yang sesuai aturan) belum merata. Data Kemendagri menyebut, terdapat beberapa provinsi yang penggunaan anggaran pendidikannya telah melampaui mandatory spending. Diantaranya yang tertinggi ialah Nusa Tenggara Timur yang menggunakan 42,37 persen anggaran belanja untuk pendidikan kemudian Maluku yang menggunakan 41,14 persen dan Sumatera Barat sebesar 36,72 persen.

Sementara Provinsi dengan penggunaan anggaran pendidikan terendah adalah Provinsi Papua Barat, hanya sebesar 3,59 persen, Provinsi Papua 6,31 persen dan Papua Pegunungan 7,79 persen. Berdasarkan data Kemendagri, total ada 10 provinsi yang rasio belanja pendidikannya masih berada di bawah 20 persen.

Sebagai penutup, pemerintah pusat harus terus mendorong pemerintah daerah untuk mampu menjalankan amanat nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas. Disisi lain, masyarakat harus mengambil peran dalam mengawal dan mengawasi distribusi APBD. Perlu ditekankan, komitmen akan pembiayaan pendidikan yang kuat menjadi salah satu modal dalam melahirkan sumber daya manusia yang unggul dan berdaya saing.