Mendengar kata “Papua” yang terlintas adalah kekayaan alam, keindahan alam, corak budaya yang ragam. Namun dibalik kelebihan yang diberikan oleh semesta, semua itu meninggalkan duri dalam daging, memberikan luka yang membekas bagi perempuan papua. Perempuan papua mencoba mencari jalannya, membuat jalannya, memberikan ruang bagi dirinya melawan patriarki. Perempuan papua yang mencoba keluar dari jerat patriarki, mencerminkan kebutuhan yang mendalam untuk mengatasi ketidaksetaraan gender yang masih ada dalam masyarakat Papua.
Perempuan papua sering dianggap over proktektif atas apa yang mereka lakukan dalam menjaga eksistensinya. Tidak sepenuhnya salah dan tidak sepenuhnya benar. Misalnya dalam akses ekonomi. Sistem patriarki cenderung menempatkan perempuan Papua di posisi subordinat, terutama dalam ruang ekonomi formal yang sangat nyata. Sementara itu, perempuan pendatang memiliki lebih banyak akses ke modal, pendidikan, dan peluang kerja. Akibatnya, perempuan Papua merasa terpinggirkan dan terancam secara ekonomi.
Dalam banyak kasus, perempuan pendatang lebih aktif di sektor perdagangan atau usaha kecil, yang sebelumnya menjadi sumber penghidupan perempuan Papua. Sistem patriarki tidak mendukung perempuan Papua untuk bersaing secara setara, karena mereka sering terbebani dengan peran domestik (urusan rumah tangga yang menjadi tuntuan laki- laki papua). Realita perempuan Papua yang setelah pulang kerja, masih harus pikul kayu bakar, buat api di tungku untuk mengolah makan sore atau malam)
Sistem patriarki menciptakan hierarki sosial dimana perempuan tidak hanya ditindas oleh lelaki baik secara langsung maupun tidak langsung tetapi juga merasa ditindas oleh satu sama lain. Perempuan papua menganggap perempuan pendatang mungkin “lebih maju” atau “lebih modern” karena berasal dari luar, yang kadang menimbulkan perasaan tidak adil, iri, dan ketidak percayaan diri bagi perempuan papua
Sistem ini sering kali memberikan lebih sedikit peluang bagi perempuan papua untuk mengakses pendidikan tinggi, dibandingkan perempuan pendatang yang sudah memiliki pendidikan tinggi. Hal ini membuat perempuan papua merasa terdiskriminasi, baik secara internal (dalam budaya mereka) maupun eksternal (dalam hubungan dengan pendatang).
Perpecahan antara sesama perempuan di tanah papua jadi tak terhindarkan, dimana seharusnya antara perempuan papua dan perempuan pendatang sama – sama bergandengan tangan menyatukan padanganan akan kesemaan gender untuk diperjuangan bersama melawan sistem patriarki.
Mendorong Perempuan Papua keluar Dari Jerat Patriarki
Perempuan papua dewasa ini telah mendapatkan jalan untuk mengakses pendidikan dan mulai berkiprah diberbagai bidang atau sektor kerja, namun tak menampik luka masa lalu akibat sistem sosial patriarki telah memberikan kesan “berjuang”.
kesan “berjuang” memberikan pandangan berjuang dan proteksi atas diri, tanah dan kesempatan hal ini bersinggungan kepentingan bersama dalam mencari kehidupan di tanah Papua bersama etnis nusantara lainnya di tanah Papua khususnya perempuan non papua atau perempuan pendatang. Untung itu hal – hal yang dapat dilakukan untuk mengangkat derajat perempuan papua dan keluar dari jerat patriarki diantaranya :
- Perlu ada pendidikan dan kesadaran bersama lebih dari yang sudah ada sebelumnya, baik untuk perempuan papua maupun pendatang, bahwa konflik ini sebetulnya adalah akibat dari sistem patriarki yang menindas keduanya.
- Perlu adanya fokus pada penguatan kapasitas perempuan papua, baik dalam pendidikan, keterampilan, maupun akses ekonomi. Dengan begitu, perempuan papua dapat merasa setara dalam bersaing.
- Penting untuk mendorong solidaritas antar perempuan, baik OAP maupun Non-OAP, melalui program-program komunitas yang mengedepankan kerja sama, seperti koperasi perempuan atau pelatihan bersama.
- Kepemimpinan adat dan tradisi perlu didorong untuk lebih inklusif terhadap perempuan papua, sehingga mereka memiliki peran lebih besar dalam masyarakat.
konflik patriarki, membuat perempuan papua dan perempuan pendatang ditempatkan dalam posisi saling bersaing oleh sistem yang mendukung dominasi laki-laki yang menghambat pemberdayaan perempuan.