Hanya tinggal menghitung hari saja bagi umat muslim memasuki bulan Ramadan 1442 H. Menjalankan ibadah puasa di bulan yang penuh berkah ini merupakan sebuah kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan.
Terkecuali bagi mereka yang memiliki halangan, seperti sakit, haid, nifas, dan berpergian (musafir). Ketika mengalami hal ini, puasa Ramadan boleh tidak dikerjakan.
Firman Allah: “…Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain….” (QS. Al-Baqarah ayat 184).
Mereka yang tak menjalankan puasa karena halangan tersebut, wajib mengganti atau meng-qadha puasa sebanyak puasa yang ditinggalkannya, di bulan lain selain bulan Ramadan.
Hadis dari Aisyah r.a : “Dahulu aku memiliki tanggungan/hutang puasa Ramadan, dan tidaklah aku bisa mengqadha’nya (karena ada halangan sehingga tertunda) kecuali setelah sampai bulan Sya’ban.” (H.R. Al-Bukhari).
Jika tidak ada halangan, ada baiknya bagi seorang muslim untuk menyegerakan dan tidak menunda membayar hutang puasa Ramadan tahun lalu, karena kita sebagai manusia tidak akan pernah tahu seberapa lama kita akan hidup di dunia.
Namun jika sampai Ramadhan berikutnya yang bersangkutan belum juga mengganti puasa qadha-nya, maka akan ada konsekuensi yang harus ditanggung. Berikut ini hukum dan cara membayar puasa menurut beberapa ulama.
1. Membayar Puasa pada Ramadan Berikutnya
Sebagian orang pasti ada yang memiliki halangan untuk membayar puasa qadha, seperti seorang ibu yang hamil selama 9 bulan, menyusui, atau yang mengalami sakit keras hingga Ramadan berikutnya tiba, maka diwajibkan membayar hutang puasa pada Ramadan yang akan datang.
Imam Ibnu Baz rahimahullah mengatakan : “Dia tidak wajib membayar kaffarah , jika dia mengakhirkan qadha disebabkan sakitnya hingga Ramadan berikutnya. Namun jika dia mengakhiri qadha karena menganggap remeh, maka dia wajib qadha dan bayar kaffarah dengan memberi makan orang miskin sejumlah hari utang puasanya.”
2. Membayar puasa dan membayar fidyah
Dijelaskan Syeikh An Nawawi Al Bantani dalam kitabnya Kasyifatus Saja ala Safinatun Naja.”(Kedua (yang wajib qadha dan fidyah) adalah ketiadaan puasa dengan menunda qadha) puasa Ramadan (padahal memiliki kesempatan hingga Ramadan berikutnya tiba) didasarkan pada hadis, ‘Siapa saja mengalami Ramadan, lalu tidak berpuasa karena sakit, kemudian sehat kembali dan belum mengqadhanya hingga Ramadan selanjutnya tiba, maka ia harus menunaikan puasa Ramadan yang sedang dijalaninya, setelah itu mengqadha utang puasanya dan memberikan makan kepada seorang miskin satu hari yang ditinggalkan sebagai kaffarah'”. dikutip HR Ad Daruquthni dan Al Baihaqi.
Jika tidak membayar qadha disebabkan karena suatu kelalaian, maka yang bersangkutan betaubat kepada Allah SWT, wajib mengqadha dan juga membayar fidyah sebesar satu mud untuk satu hari utang puasanya.
Adapun ukuran satu mud menurut mazhab Maliki, Syafii dan Hanabilah setara dengan 543 gram bahan makanan pokok seperti beras atau gandum. Sedangkan menurut mazhab Hanafi, satu mud setara dengan 815,39 gram bahan makanan pokok.(Dwi)