Kendalikan Konsumsi Rokok Melalui Penyederhanaan Tarif Cukai Hasil Tembakau

Jakarta,GPriority.co.id-Tarif cukai hasil tembakau ibarat pisau bermata dua. Dilarang pendapatan negara berkurang, dibiarkan banyak orang yang terkena penyakit paru dan TBC.

Guna mengatasi permasalahan tersebut, negara juga sudah melakukan kebijakan penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau (CHT) dari 10 layer ke 8 layer pada 2022. Ini tentu saja patut diapresiasi sebagai langkah awal untuk mengendalikan konsumsi tembakau dan mengoptimalkan penerimaan negara. Harapannya, struktur tarif CHT ini akan terus disederhanakan demi mencapai efektivitas fungsi cukai, sekaligus menutup celah penghindaran pajak yang masih terbuka lebar akibat sistem cukai yang kompleks.

Namun sayangnya kebijakan ini masih belum bisa diterima oleh semua pihak. Untuk itulah dibutuhkan solusi agar permasalahan ini bisa menemukan titik temu. Berbekal alasan itulah KBR menggelar webinar secara zoom dengan tema ” Meninjau Celah Penghindaran Pajak dalam Kebijakan Struktur Tarif Cukai Hasil Tembakau” Jum’at (29/7/2022).

Chief Strategist Center for Indonesia’s Strategic Development Initiative (CISDI) Yurdhinna Meilisa mengatakan, struktur tarif cukai di Indonesia masih menjadi masalah dari sisi kesehatan masyarakat maupun ekonomi.

Saat ini, lanjutnya,konsumsi rokok tidak turun secara signifikan karena harga rokok di Indonesia sangat bervariasi akibat rumitnya struktur tarif cukai saat ini.

“Harga rokok yang bervariasi ini menyebabkan perokok memiliki pilihan yang sangat banyak untuk mengonsumsi rokok murah ketika mereka tidak mampu membeli rokok dengan harga yang lebih mahal setiap harinya,” katanya dalam Webinar KBR bertajuk Meninjau Celah Penghindaran Pajak dalam Kebijakan Struktur Tarif Cukai Hasil Tembakau, Jumat (29/7/2022).

Yurdhinna mengatakan, harga rokok yang bervariasi itu disebabkan struktur tarif cukai hasil tembakau yang berlapis-lapis. “Meskipun Indonesia menerapkan sistemcukai spesifik, struktur tarif cukai tembakau itu paling rumit sedunia,” ujarnya.

Tarif cukai yang rumit, kata Yurdhinna, membuka celah bagi perusahaan rokok untuk menghindari membayar tarif cukai yang tinggi. “Ada gap yang cukup besar antara golongan 1 dan 2, sehingga ada ruang yang lebar untuk perusahaan berpindah-pindah dan mengelola biayanya,” ujarnya.

Yurdhinna berharap struktur tarif cukai dapat lebih disederhanakan lagi. Dalam paparannya Yurdhinna menyampaikan bahwa ketika pemerintah menghapus 1 (satu) tier, harga rokok akan naik sebesar 2,9%. Rekomendasi Bank Dunia menyatakan bahwa bahwa kebijakan penyederhanaan tier dari 10 ke 6 akan berdampak pada berkurangnya permintaan rokok sebesar 2%, dan meningkatkan penerimaan sebesar 6,4% (Rp10,9 triliun). Sementara untuk efeknya terhadap perusahaan memang ada tetapi tidak akan rugi jika penyederhanaan struktur tarif cukai dilakukan.

“Penyederhanaan harus dilakukan karena celah penghindaran sangat besar untuk meningkatkan passthrough pajak rokok sehingga lebih efektif dalam mempengaruhi harga rokok dan menekan konsumsi rokok,” katanya.

Peneliti Center Of Human and Development (CHED) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) Roosita Meilani mengatakan kebijakan cukai harusnya mendorong optimalisasi pengendalian konsumsi dan mendorong penerimaan negara.

Pihaknya terus mendorong agar simplifikasi layer atau penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau segera dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan.

“Tujuan dari simplifikasi struktur tarif cukai ini agar pabrikan tidak turun golongandengan cara mengurangi produksinya agar dapat membayar tarif cukai yang lebih murah,” katanya.

Selain itu, tambahnya, dampak simplifikasi bagi pabrikan atau perusahaan akan minimal, sedangkan dampak bagi penerimaan cukai akan sangat positif.

Roosita menambahkan bahwa simplifikasi struktur tarif CHT ini sudah ada dalam roadmap struktur tarif CHT yang sudah dirancang pemerintah pada 2017, tetapi kemudian tidak dilaksanakan. “Harapannya simplifikasi dicantumkan kembali di PMK berikutnya.

Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan urgensi penyederhaaan sistem cukai untuk perlindungan konsumen sangat penting dilakukan. “Sebenarnya Presiden sudah punya itikad baik yang tertuang dalam Perpres No 18/2020 tentang RPJMN 2020-2024 terkait penyederhanaan sistem cukai rokok dari 10 layer menjadi 3-4 layer pada 2024. Tetapi, mandat ini gagal dilakukan. Walau kemarin ada penyederhanaan menjadi 8 layer, tetapi masih jauh dari yang kita harapkan sesuai RPJMN ini,” katanya.

“Itulah sebabnya ia melihat masih tingginya tingkat pelanggarannya khususnya oleh industri rokok kelas kakap. “Selain itu, pendapatan negara dari cukai tidak signifikan karena terlalu rumit. Persaingan antarindustri rokok juga menjadi tidak sehat karena industri rokok besar bersaing dengan industri rokok kecil, serta tidak efektif dalam pengendalian konsumsi rokok,” katanya

Itulah sebabnya dia mendorong agar penyederhanaan sistem cukai harus dilakukan. “Simplifikasi sistem cukai harus dilakukan secara bertahap, karena dari penyederhanaan juga akan mengatrol pendapatan negara,” katanya.

Pengamat ekonomi Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah mengatakan bahwa jarak tarif antar golongan masih tinggi. “Persoalannya tidak hanya pada struktur tarif cukainya, tetapi juga pada golongannya. Jadi si pengusaha bisa bermain di golongan ini untuk meminimalkan tarif cukai yang harus dibayarkannya. Beda 1 batang produksi saja, bisa membuat pengusaha rokok berubah golongan danberubah tarif cukainya,” katanya.

Piter mengatakan bahwa tidak hanya penyederhanaan struktur tarif cukai yang bisa dilakukan, tetapi pada penggolongannya juga. “Padahal awalnya penggolongan ini untuk melindungi pabrikan kecil, harusnya pengelompokannya berdasarkan besar dankecilnya saja sehingga pengusaha tidak bermain di jumlah produksi tadi,” katanya.

Adapun, kata Piter, rencana penyederhanaan struktur tarif CHT harus dilakukan untuk optimalisasi penerimaan negara, meningkatkan kepatuhan, dan penyederhanaan sistem administrasi.(Hs.Foto.Hs)