Reformasi dan Lahirnya Demokrasi Yang Rentan

E. MUSLIH
Lingkar Kajian Demokrasi Sukabumi

Sukabumi,GPriority.co.id-Proses reformasi telah berjalan 25 tahun sejak momentum bersejarah tumbangnya rezim Orde Baru pada 21 Mei 1998. Reformasi telah memungkinkan rakyat memiliki kebebasan dalam mengekspresikan pendapat setelah fase ketertindasan dan bayang-bayang demokrasi semu era Orde Baru.

Kekuasaan tidak lagi hegemonik seperti era Soeharto, seiring dengan berjalannya mekanisme pemilihan pemimpin nasional secara reguler lima tahunan. Ada beberapa catatan terkait proses reformasi yang sudah berjalan lebih dari dua dekade ini.

Pertama, kontestasi elektoral sebagai anak kandung reformasi kerap melahirkan wajah ganda. Satu wajah penuh harapan perbaikan, dan wajah lainnya penuh sisi gelap perburuan kekuasaan. Contoh paling nyata adalah Pilkada DKI 2017 yang menyita begitu banyak energi bangsa ini. Panasnya suasana politik tidak hanya dirasakan oleh mereka yang tinggal di Jakarta, tetapi juga oleh warga di daerah lain. Pilkada serentak sudah berlangsung sejak 2015 (269 daerah), 2017 (101 daerah), 2018 (171 daerah), 2020 (270 daerah ), dan 548 daerah pada 2024 nanti.

Pilkada akan terus dihelat serentak secara nasional. Pemilu legislatif dan pemilu presiden juga akan kembali diselenggarakan dalam waktu bersamaan pada 2024. Agenda politik yang berimpitan ini kerap melahirkan persoalan bawaan, yakni polarisasi yang begitu tajam di tengah masyarakat akibat perbedaan pilihan. Situasi ini kerap melahirkan kerentanan antara lain sikap intoleran dalam menyikapi perbedaan pandangan dan pilihan.

Dampaknya, muncul saling curiga, saling menyalahkan, saling menjatuhkan yang jika dibiarkan terus menerus bisa merusak tatanan.

Kedua, fenomena media massa dan media sosial yang sering kali turut memanaskan situasi, memprovokasi, menstimulasi, dan memperbesar area potensi konflik warga melalui bingkai pemberitaan yang dikonsumsi, direproduksi dan didistribusikan ke khalayak luas..Di media sosial juga tak kalah riuh rendah. Gelembung politik memenuhi lini masa kanal-kanal sosial media warga.

Kerentanan daya tahan terlihat dari berlimpahnya hoax, berita palsu dan ujaran kebencian yang memprovokasi bahkan menstimulasi konflik horizontal di tengah masyarakat. Pengguna internet yang jumlahnya mencapai 132 jutaan dan berkembangnya teknologi komunikasi termasuk gawai yang mudah dijangkau warga lintas strata, menyebabkan terpaan media sosial begitu dahsyat dan signifikan pengaruhnya.

Ketiga, kepentingan para penunggang bebas baik karena motif ekonomi, bisnis, maupun pribadi kerap mengelola situasi tidak nyaman dan tidak pasti.

Di luar kelompok yang berebut kekuasaan di panggung yang legal, ada orang dan sekelompok orang yang terbiasa mengail di air keruh. Mereka memanfaatkan situasi yang terpolarisasi tajam di masyarakat untuk memaksimalkan kepentingan mereka. Ada dua jenis kelompok orang seperti ini, yakni para pencari kepuasan dan organisasi kejahatan. Tipe pencari kepuasan biasanya melancarkan aksinya hanya untuk memenuhi keinginannya untuk membuat situasi panas, runyam, chaos, apalagi konfliknya bersumber dari hoax, fakenews maupun ujaran kebencian yang mereka sebarkan.

Jenis orang seperti ini sakit secara sosial, karena hasratnya merasa terpuaskan jika orang ramai-ramai mengikuti kehebohan yang dia ciptakan, baik melalui media sosial maupun pesan berantai dari mulut ke mulut. Sementara tipe organisasi kejahatan, sejak awal merancang ragam aktivitasnya untuk tindak kejahatan, misalnya bisnis hitam hoax di media sosial yang dijalankan oleh kelompok Saracen. Teroris termasuk dalam kelompok ini, yang menebar teror secara terencana, sistematis, dan masif.

Keempat, kepentingan pragmatis dan transaksional para elite yang biasanya mengendalikan akses kekuasaan di partai politik, birokrasi dan korporasi.

Model politik kartel yang menutup akses kompetisi secara sehat dan melahirkan situasi demokrasi yang kolusif. Praktik seperti ini terlihat dari politik dinasti yang berlangsung di banyak daerah. Penguasaan politik dari hulu ke hilir oleh segelintir orang menyebabkan praktik kekuasaan yang bersifat feodal, oligarkis, dan transaksional.

Refleksi perjalanan reformasi ini harus serius diarahkan pada upaya mengatasi demokrasi yang rentan. Menurut Juan Linz dan Alfred Stephen dalam bukunya Problems of Democratic Transition and Consolidation (1996), transisi dari satu rezim otoriter ke suatu rezim baru belum tentu menuju suatu pemerintahan demokratis dan masyarakat berkeadaban. Transisi yang tidak sempurna dapat membuahkan pola demokrasi yang rentan. Laporan The Economist intelligence Unit menyimpulkan bahwa telah terjadi kemunduran demokrasi di dunia sejak 2008.

Penurunan kualitas demokrasi ini merupakan konsekuensi dari lambatnya konsolidasi, baik dari pemantapan kapasitas institusi demokrasi maupun kematangan budaya politik sehingga demokrasi berjalan tanpa nilai nilai demokratis.

Salah satu kelemahan mendasar dari proses reformasi yang berlangsung sejak 1998 adalah karena gerakan perubahan lebih berfokus pada upaya membangun dan memperbaiki institusi negara. Sedangkan upaya membangun dan memperkuat kapasitas negara kurang mendapatkan perhatian yang seimbang. Akibatnya, kehadiran negara dalam kehidupan sehari-hari menjadi samar-samar atau bahkan absen.

Hadirnya kapasitas negara dalam kehidupan sehari-hari rakyat mendesak diperbaiki sehingga tidak memperbesar kekecewaan di tengah masyarakat. Ketidakpuasan bisa berdampak pada hilangnya harapan masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam arus pembangunan yang direncanakan pemerintah. Kerja keras pemerintahan Jokowi atau siapa pun yang berkuasa setelahnya tidak akan berarti signifikan tanpa ketergerakan warga untuk berpartisipasi di dalamnya. Kepercayaan publik menjadi kunci apakah perjalanan reformasi menuju arah yang tepat atau sebaliknya hanya jalan di tempat.

Setelah 25 tahun reformasi, kualitas demokrasi kita diharapkan menuju arah yang tepat bukan semata di sistem demokratik seperti hukum dan birokrasi pemerintahan, melainkan etos demokratiknya seperti nilai-nilai demokratis yang terinternalisasi secara luas pada masyarakat. Inilah tantangan sekaligus agenda bersama bangsa ini***