Benteng Amsterdam Jadi Bukti Perebutan Kekuasaan Bangsa Barat di Maluku

Jakarta, GPriorty.co.id – Kedatangan bangsa Barat di wilayah Maluku bermula dari ketertarikan terhadap berbagai macam rempah-rempah yang dihasilkan kepulauan ini. Portugis, Spanyol, dan Belanda merupakan tiga bangsa yang pernah menginjakkan kaki dan saling berebut pengaruh di Maluku.

Untuk memperkuat keberadaan mereka di Maluku, ketiga bangsa tersebut membangun benteng-benteng pertahanan di berbagai pulau di wilayah Maluku. Salah satu benteng yang menjadi bukti perebutan kekuasaan bangsa Barat atas tanah Maluku adalah Benteng Amsterdam.

Situs cagar budaya yang berada di tepi pantai dan bersebelahan dengan Gereja Tua Immanuel ini memiliki konstruksi yang mirip dengan sebuah rumah. Oleh Bangsa Belanda disebut Blok Huis.

Bangunan utama Benteng Amsterdam terbagi atas tiga lantai dengan fungsi yang berbeda, namun secara keseluruhan ketiga lantai digunakan sebagai tempat tinggal tentara Belanda.

Lantai pertama dibangun menggunakan bata merah. Fungsi lantai pertama ini sebagai tempat tidur para serdadu. Sedangkan lantai dua dan lantai tiga yang dibangun dari kayu digunakan untuk tempat pertemuan para perwira dan pos pemantau.

Adapun lantai bawah merupakan penjara dan tempat menyimpan mesiu. Di dalam Benteng Amsterdam juga dibangun sebuah sumur sebagai penyuplai air minum militer Belanda.

Di setiap sisi dari bangunan berbentuk persegi ini terdapat jendela-jendela yang pada masanya digunakan sebagai tempat mengintai musuh. Atap berwarna merah pada benteng merupakan hasil pemugaran.

Meski dinamai Benteng Amsterdam, faktanya benteng yang berada di Pulau Ambon, tepatnya di sekitar daerah Hila ini sebenarnya dibangun oleh Portugis pada tahun 1512 pimpinan Fransesco Serrao.

Benteng ini semula diberi nama Castel Vanveree. Oleh Portugis bangunan ini digunakan sebagai loji untuk menyimpan rempah-rempah, selain sebagai basis pertahanan.

Ketika Pulau Ambon dikuasai oleh Belanda pada 1605 setelah berhasil mengambil simpati rakyat Maluku, kepemilikan Benteng Amsterdam jatuh ke tangan VOC. Oleh VOC, benteng ini dijadikan loji pertahanan.

Pada tahun 1633 ketika VOC berperang dengan penduduk Hitu dalam Perang Hitu II pimpinan Kapitan Kakiali, VOC menjadikan loji pertahanan yang berada di Leihitu ini sebagai sebuah kubu pertahanan pada tahun 1637.

Bangunan ini kemudian diperbesar pada tahun 1642 dan kembali dilanjutkan pembangunannya menjadi sebuah benteng pada tahun 1649. Benteng ini selesai dibangun pada 1656 dan diberi nama Benteng Amsterdam.

Dalam perkembangannya, Benteng Amsterdam pernah menjadi tempat tinggal seorang naturalis asal Jerman, Georg Eberhard Rumphius. Rumphius mempelajari dan meneliti flora dan fauna yang ada di Pulau Ambon selama hampir 50 tahun.

Benteng Amsterdam berhasil selamat dari kerusakan akibat gempa dan tsunami yang melanda Pulau Ambon pada tahun 1674. Namun, gempa yang mengguncang Ambon pada 8 Februari 1845 menimbulkan retakan-retakan besar di dinding Benteng.

Pada tahun 1900-an, benteng ini ditinggalkan dalam keadaan rusak parah dan telah ditumbuhi berbagai tumbuhan dan pohon Beringin besar. Hingga pada tahun 1991–1994, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia  Wilayah Provinsi Maluku melakukan pemugaran pada Benteng Amsterdam.

Penelitian yang dilakukan pada Benteng Amsterdam oleh Balai Arkeologi Maluku tahun 2013 berhasil menemukan fragmen tembikar, keramik, stoneware, bata, genteng, struktur lepas, besi, kaca, pipa tembakau, batu tulis, tulang, gigi, dan kerang.

Untuk menyimpan benda-benda peninggalan sejarah itu, kemudian dibangun museum kecil di Benteng Amsterdam. (Vn.Foto.Istimewa)