Studi: Berangkat Kerja Lebih dari 1 Jam Beresiko Stres

Penulis : Dimas A Putra | Editor : Lina F | Foto : Istimewa

Jakarta, GPriority.co.id – Di Jabodetabek berangkat kerja 1 hingga 2 jam sudah dianggap lumrah. Bahkan bisa lebih dari itu, tergantung situasi lalu lintas karena macet yang tak terduga.

Meskipun dianggap lumrah, ternyata sebuah studi mengungkap jika pekerja yang menempuh ke tempat kerja lebih dari 1 jam beresiko tinggi mengalami depresi atau stress.

Seperti dilansir dari Science Alert, sebuah studi terbaru terhadap lebih dari 23 ribu responden di Korea Selatan menemukan bahwa 16 persen orang yang menempuh perjalanan selama satu jam atau lebih cenderung berisiko mengalami depresi. Kondisinya sangat berbeda jika dibandingkan dengan mereka yang menempuh perjalanan kurang dari 30 menit.

Kemudian, Peneliti kesehatan masyarakat di Inha University Korea, Dong-Wook Lee, meneliti data peserta usia kerja dari sebuah survei perwakilan nasional yang dilakukan pada 2017, Fifth Korean Working Condition Survey. Dalam penelitian itu, para responden diminta untuk menjawab pertanyaan berdasarkan lima poin indeks kesejahteraan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Berdasarkan hasil skor indeks, seperempat dari 23.415 responden yang memiliki rata-rata waktu perjalanan 47 menit per hari atau setara hampir empat jam per minggu dalam waktu bekerja lima hari melaporkan mengalami gejala depresi.

Meskipun penelitian ini tidak menunjukkan sebab dan akibat, kelompok laki-laki lebih menunjukkan hubungan kuat antara jam perjalanan dan kesehatan mental, terutama bagi mereka yang belum menikah, bekerja lebih dari 52 jam per minggu, dan tidak memiliki anak.

Sementara itu pada kelompok perempuan, waktu perjalanan yang lama berkaitan erat dengan gejala depresi di kalangan pekerja berpenghasilan rendah, pekerja shift, dan mereka yang memiliki anak.”Dengan waktu luang yang lebih sedikit, orang kekurangan waktu untuk menghilangkan stres dan melawan kelelahan fisik, seperti melalui tidur, hobi, dan aktivitas lainnya,” ujar para peneliti kepada Korean Biomedical Review, dikutip CNBC Indonesia, Kamis (28/12).

Adapun meskipun analisis ini disesuaikan dengan usia, jam kerja mingguan, pendapatan, pekerjaan, dan shift kerja, faktor risiko individu lain yang memengaruhi gejala depresi, yakni seperti riwayat keluarga, tidak dapat diperhitungkan.

“Hubungan antara waktu perjalanan yang lama dan gejala depresi yang memburuk ditemukan lebih kuat di kalangan pekerja berpenghasilan rendah,” ucapnya.

Sementara itu terkait moda transportasi, studi pada 2018 terhadap hampir 4.500 responden di Inggris menemukan bahwa beralih dari menggunakan transportasi menjadi bersepeda atau berjalan kaki dapat meningkatkan kesehatan mental.

“Mengurangi waktu dan jarak perjalanan melalui peningkatan transportasi dapat memberikan lingkungan perjalanan yang lebih baik bagi masyarakat dan meningkatkan kesehatan mereka,” tutur para peneliti.