Sebagai penghasil kayu terbesar di Dunia, Indonesia didorong oleh Kementerian Perdagangan untuk menjadi pionir dunia dalam produksi kayu ringan inovatif yang berkelanjutan.
“Melalui kayu ringan, Indonesia dapat mengubah citra di mata dunia, dari penghasil kayu tropis menjadi penghasil kayu inovatif dan berkelanjutan,” ucap Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Didi Sumedi pada acara The 6th Indonesian Lightwood Cooperation Forum (ILCF) secara virtual pada hari Senin (1/11).
Kegiatan dihadiri Ketua Asosiasi Pengusaha Kayu Ringan Indonesia (Indonesian Light Wood Association/ILWA) Setya Wisnu Broto; Perwakilan Import Promotion Desk (IPD) Jerman Frank Maul; perwakilan Fairventures Worldwide Indonesia Charles Tanaka, dan perwakilan Swiss Import Promotion Organization (SIPPO).
“Indonesia memiliki kemampuan untuk merebut pasar global. Untuk itu, diperlukan keberanian melakukan inovasi, sehingga pada akhirnya produk yang dihasilkan memiliki nilai tambah dan diterima di pasar yang lebih luas,” ujar Didi.
Didi mengungkapkan, perkembangan bisnis dan aktivitas perdagangan global saat ini mendorong lebih kreatif dan inovatif agar dapat bersaing, salah satunya melalui peningkatan bisnis yang berkelanjutan. Isu berkelanjutan akan terus dikumandangkan dalam aktivitas bisnis. Namun, tekanan ekonomi dan perdagangan global akibat dampak pandemi dapat meningkatkan risiko praktik perdagangan yang tidak berkelanjutan, salah satunya untuk produk hasil kayu.
“Indonesia telah menunjukkan komitmen terhadap perdagangan produk kayu yang berkelanjutan melalui Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dan menjadi sebuah identitas kayu dan produk kayu Indonesia. Untuk itu, SVLK harus diperkenalkan dan didorong demi menjaga identitas dan citra diri bangsa,” ujar Didi.
Menurut Didi, terdapat lima alasan utama kayu ringan Indonesia lebih unggul dibanding dari negara pesaing. Pertama, melalui SVLK, Indonesia merupakan satu-satunya negara dengan sistem verifikasi legalitas kayu terbaik yang diterima Euro Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT).
“EU FLEGT menjadi faktor yang membuat kayu ringan Indonesia lebih atraktif bagi konsumen di negara Eropa, dan non-Eropa lainnya seperti Amerika,” tandas Didi.
Kedua, industri kayu Indonesia telah bertransformasi tidak lagi mengambil kayu dari hutan alam namun, hasil perkebunan yang tidak merusak hutan. Selain itu, kayu ringan Indonesia yang umumnya berjenis sengon dan jabon, merupakan sahabat alam karena merupakan salah satu tanaman legum yang mampu menyerap emisi CO2 dan menyalurkannya menjadi nitrogen dalam tanah.
Ketiga, Indonesia telah memiliki perusahaan pionir yang mampu memproduksi produk kayu ringan yang inovatif sehingga mengangkat industri kayu ringan Indonesia. “Diharapkan ini menjadi lokomotif bagi perusahaan kayu lainnya yang skalanya lebih kecil,” katanya.
Pengembangan kayu ringan tersebut dibuktikan dengan akan segera ditandatanganinya kerja sama antara tiga organisasi internasional yaitu Swiss Import Promotion Program (SIPPO) dan Fairventures Worldwide serta Import Promotion Program (IPD) Jerman yang akan mengawal pengembangan kayu ringan sejak hulu, pengembangan produk sampai hilir.
Keempat, kayu ringan mendukung ekonomi kerakyatan yang memungkinkan rumah tangga di pedesaan mendapatkan penghasilan tambahan dari menanam kayu sengon atau jabon. Hasil panen tersebut dapat dijual kepada perusahaan kayu ringan.
Kelima, sengon dan jabon dapat tumbuh dengan cepat dan menghasilkan dalam kurun waktu lima tahun dan tidak ada kayu ringan di dunia yang sama seperti pohon sengon dan jabon.
Didi menambahkan, produk kayu dunia mempunyai potensi pasar sebesar USD 210 miliar. Pada 2020, produksi kayu dunia secara keseluruhan sebesar 2,57 miliar m3dan kontribusi kayu tropis tercatat sebesar 330 juta m3 untuk suplai. Saat ini tren konsumen dunia cenderung memilih produk kayu yang mengusung prinsip keberlanjutan.
“Untuk itu, Kemendag melalui Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional mendorong pengembangan sektor kayu ringan sebagai kayu rakyat sehingga tidak merusak alam. Pengembangan tersebut akan diwujudkan dengan pendatanganan nota kesepahaman (MoU) antara tiga organisasi internasional yaitu SIPPO Swiss, Fairventures, dan IPD jerman. MoU tersebut untuk mengawal pengembangan kayu ringan secara menyeluruh,”pungkas Didi.
Sementara, Wisnu Broto menyampaikan, dengan mengelola sumber daya alam Indonesia secara bersama-sama, seperti koperasi, niscaya ILWA akan menjadi kekuatan besar. ILWA akan melakukan kerja sama dengan organisasi lokal maupun internasional dalam meraih keselarasan dari hulu hingga hilir industri perkayuan dunia melalui koperasi nasional.
“Target kita pada 2024 akan menjangkau seluruh Indonesia. Asosiasi menjadi lokomotif yang akan menggerakkan bisnis secara riil,” ungkap Wisnu Broto.
Dalam paparan, Frank mengungkapkan, Indonesia memiliki reputasi industri kayu ringan dengan kualitas tinggi. Hal ini menjadi nilai jual tersendiri, khususnya untuk pasar Eropa. Tantangannya adalah untuk memperkenalkan produk kayu ringan yang berkelanjutan. Di sisi lain masyarakat Eropa lebih menerima produk kayu yang mengedepankan keberlanjutan dan Indonesia telah memenuhi aspek standar yang menjadi permintaan Eropa.
“Keberlanjutan merupakan aspek penting bagi perusahaan di Uni Eropa. Perusahaan tersebut memiliki kebijakan hanya mendatangkan produk-produk yang berkualitas dan memiliki sertifikat legal,” tutup Frank.(Hs.Foto.Humas Kemendag)