Jejak Kapiten Tionghoa Souw Beng Kong

Jakarta sebagai ibukota negara memiliki banyak tempat peninggalan sejarah yang sangat menarik untuk dikunjungi. Salah satunya adalah kawasan Kota Tua. Ada banyak objek wisata sejarah di kawasan ini. Sebut saja Museum Fatahillah, Museum Bank Indonesia, Toko Merah, Jembatan Kota Intan, dan lainnya.

Namun, masih banyak yang belum mengetahui, jika di kawasan Kota Tua juga memilki makam seorang kapiten Tionghoa. Namanya Souw Beng Kong.  

Makam Souw Beng Kong terletak di sebuah gang sempit, Gang Taruna, Jalan Pangeran Jayakarta. Gang itu hanya selebar 1,5 meter dan tidak dapat dilewati oleh bajaj atau pun mobil. Dari jalan raya, agak sulit untuk menemukan lokasi makam Souw Beng Kong. Sebab, makam tersebut berada di dalam gang yang dihimpit oleh rumah-rumah penduduk. Meski demikian, di jalan raya sebelum memasuki gang, pengunjung akan melihat papan penunjuk jalan yang menunjukkan arah lokasi makam tersebut.

Namun tak usah khawatir, pengunjung tak perlu berjalan kaki terlalu jauh, karena letak makam hanya sekitar 100 meter dari muka gang. Makam Souw Beng Kong memiliki altar yang dilapisi dengan keramik dengan nisan yang ditulis dengan dua bahasa yakni bahasa Mandarin dan Belanda. Area sekitar makam ditutupi dengan pagar teralis. Di tengah padatnya pemukiman penduduk, pagar teralis makam dimanfaatkan sebagai tempat untuk menjemur pakaian.

Pagar teralis makam, dulunya dikunci dengan menggunakan gembok. Namun beberapa tahun belakangan dibuka dan warga bebas masuk. Jika hari hujan, terkadang air tergenang di depan makam, tetapi ada pengurus yang khusus untuk membersihkan makam.

Souw Beng Kong memiliki sejarah panjang di tanah air. Ia lahir di distrik Tong An, Provinsi Hok Kian, Cina Selatan pada 1580 masa pemerintahan Dinasti Ming. Souw Beng Kong adalah pemuda Tionghoa yang ulet dan piawai dalam urusan berniaga. Ia melintasi derasnya gelombang laut selatan. Perahu yang ditumpanginya mendarat di Pelabuhan Banten pada 1614. Kepiawaiannya dalam manajemen dan menguasai para pedagang Tionghoa, membuatnya menjadi penanggung jawab ekspor impor rempah Banten di bawah kesultanan Banten saat itu. Souw Beng Kong bukan sembarang pemuda, ia juga terkenal sebagai ahli pertanian.

Hubungannya dengan Belanda terjalin saat Gubernur Jenderal VOC Pieter Both mengutus Jan Pieterszoon Coen membuka wilayah dagang ke tanah Jayakarta pada 1611. Jan Pieterszoon Coen resmi diangkat menjadi Gubernur Jenderal VOC pada 1619, seiring keberhasilan VOC menaklukkan wilayah yang dahulunya dipegang Pangeran Jayakarta.

Souw Beng Kong dirayu untuk memindahkan seluruh penduduk Tionghoa dari Banten ke Batavia. Ia menerima tawaran tersebut dan lantas membawa setidaknya 300 orang Tionghoa yang semula berniaga di Banten. Awalnya Souw Beng Kong sempat menolak, karena ia masih sangat dibutuhkan di Banten. Tapi akhirnya ia menerima tawaran itu, lantaran ada beberapa persoalan antara kerajaan Banten dan komunitas Tionghoa di sana. Saat itu, di Banten sedang terjadi paceklik berkepanjangan.

Pada 11 Oktober 1619, Souw Beng Kong diangkat pertama kali sebagai pemimpin kelompok Cina karena mampu membawa dan mengatur etnis Tionghoa di Batavia. Di bawah komando Souw Beng Kong, bandar dagang Tionghoa yang berpusat di Loji Selatan (sekarang menjadi kawasan Kota Intan belakang Galangan VOC) maju pesat.

Souw Beng Kong menjadi Kapiten Tionghoa (Kapitein der Chinezen) pertama di seluruh jajahan Hindia Belanda. Pasca Kapiten Cina, barulah beberapa gelar kapiten lain diberikan untuk pemimpin kelompok non pribumi lainnya. Gelar kapiten sendiri merupakan adopsi dari era Portugis yang sebelumnya pernah menjajah negara Indonesia.

Souw Beng Kong juga menjadi kapiten terlama untuk golongan Tionghoa di Batavia. Jabatan itu ia sandang dalam enam periode gubernur VOC (JP Coen, Pieter de Carpenter, JP Coen, Jacques Speck, Hendrik Brouwer, dan Antonio van Dieman). Souw Beng Kong melepas jabatannya atas permintaan sendiri. Pada 3 Juli 1636, ia mengundurkan diri dan VOC lantas menunjuk Kapiten Lim Lak Tjo sebagai penggantinya.

Kapiten Souw Beng Kong wafat pada 8 April 1644 diusia 50 tahun. Souw Beng Kong diyakini meninggal dalam kondisi yang wajar karena usia tua. Ia dimakamkan sebulan kemudian di tanah perkebunannya yang sekarang bernama Gang Taruna. Urbanisasi besar-besaran pasca kemerdekaan, membuat lahan perkebunan Beng Kong akhirnya tergerus dan menjadi lahan pemukiman. (VIA)