Hingga saat ini pertempuran di Nagorno-Karabakh terus berlangsung, antara Azerbaijan dengan Armenia. Sebenarnya apa dan bagaimana Nagorno-Karabakh tersebut hingga memantik peperangan antar kedua negara Azerbaijan dengan Armenia.
Nagorno-Karabakh adalah sebuah wilayah yang terletak di bagian selatan Kaukasus, tepatnya 270 km sebelah barat Baku, ibu kota Azerbaijan. Secara internasional Nagorno-Karabakh diakui sebagai bagian dari Azerbaijan. Namun karena berada di bawah pengendalian etnis Armenia dan didukung pemerintah Armenia, maka wilayah tersebut diakui oleh Armenia.
Menurut literatur sejarah, pada tanggal 15 Januari 1919, pemerintah Azerbajian telah mengumumkan bahwa kawasan Kharabakh masuk ke dalam negara Azerbaijan. Pemerintah Azerbaijan juga menunjuk Khosrovebek Sultanov sebagai Gubernur Jenderal bagi Nagorno-Kharabakh.
Sultanov yang ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal meminta kepada Dewan Nasional Armenia-Karabakh untuk melakukan konferensi perdamaian di Paris. Hasilnya, mereka menerima bahwa Nagorno-Kharabakh masuk ke dalam wilayah Republik Azerbaijan dan menerima Sultanov sebagai Gubernur Jenderal di wilayah tersebut.
Pada tahun 1921, hampir semua negara yang berada di wilayah Transkaukasus (termasuk Azerbaijan dan Armenia) dikuasai oleh tentara Bolshevik dari Rusia. Kawasan Nagorno-Karabakh juga turut dikuasai, tentara Bolshevik berjanji akan membantu menyelesaikan masalah Nagorno-Karabakh yang masih diperdebatkan oleh Azerbaijan dan Armenia. Nagorno-Karabakh pun diberi otonomi khusus menjadi Nagorno Karabakh Autonomous Oblast (NKAO).
Pada tahun 1923 Nagorno-Karabakh Autonomous Oblast dan Nakchivan didirikan di wilayah Azerbaijan, sementara wilayah Zanzegur diberikan kepada Armenia.
Pada tanggal 20 Februari 1988, masyarakat Armenia yang berada di Nagorno-Karabakh melakukan referendum tidak resmi yang hasilnya menuntut agar Nagorno-Karabakh diserahkan kepada Armenia. Referendum tersebut diwujudkan dalam sebuah petisi yang ditandatangani oleh 80.000 orang. Surat referendum tersebut diserahkan kepada Dewan Tertinggi Uni Soviet, Armenia dan Azerbaijan.Hasil referendum tersebut sempat membuat Nagorno-Karabakh sedikit memanas karena masyarakat Azerbaijan yang tinggal di Nagorno-Karabakh tidak menyetujui hasil referendum tersebut dan melakukan protes terhadap warga Armenia. Protes tersebut ditanggapi dengan aksi tandingan, pada tanggal 24 Februari 1988 warga Armenia juga ikut turun ke jalan. Aksi protes dua kubu ini berubah menjadi bentrokan berdarah.
Pada tahun 1989, Moskow memberikan wewenang sepenuhnya kepada Azerbaijan untuk mengatasi perpecahan yang terjadi di Nagorno-Karabakh. Namun keputusan Moskow tersebut menjadi bumerang karena pemerintah Azerbaijan dengan mudah melakukan tindakan represif terhadap Armenia.
Dalam sebuah pertemuan antara Dewan Nasonal Nagorno-Karabakh dengan Dewan Tertinggi Soviet untuk Armenia memutuskan untuk memindahkan kekuasaan Nagorno-Karabakh dari Azerbaijan ke Armenia. Dewan Nasional memproklamirkan penggabungan Nagorno-Karabakh dengan Armenia. Keputusan tersebut langsung disambut dengan demontrasi besar-besaran warga Azerbaijan.
Puncaknya, pada bulan Januari 1990 warga Azerbaijan mengamuk dan menyerang warga Armenia yang masih tersisa baik di kota Baku maupun kota lainnya di Azerbaijan. Moskow baru memberikan perlindungan terhadap warga Armenia setelah mereka babak belur dihajar warga Azerbaijan.
Kehadiran pasukan dari Moskow sama sekali tidak membantu dan justru semakin menambah masalah. Kehadiran pasukan Moskow disambut dengan serangan dari Azerbaijan Populer Front (APF). Masalahnya pun semakin rumit karena warga Azerbaijan yang tergabung dalam APF tersebut juga ingin membentuk negara sendiri, Mutalibov diangkat sebagai presidennya, aksi protes berkembang menjadi aksi pemberontakan.
Mereka kecewa dengan keputusan Dewan Tertinggi Soviet untuk Armenia yang telah membantu Nagorno-Karabakh pindah ke tangan Armenia. Pemberontakan pun semakin berkembang, berbagai kontak senjata mengakibatkan banyak orang tewas.
Banyak ahli yang mengatakan bahwa pengiriman pasukan Moskow waktu itu bukanlah untuk melindungi warga Armenia tetapi lebih ditujukan untuk memerangi APF dan melindungi wilayahnya agar tidak lepas dari kekuasaan Uni Soviet. Bantuan dari Moskow lebih bersifat politis daripada kemanusiaan.
Sementara itu kondisi Uni Soviet sedang berada diambang kehancuran. Banyak negara yang ramai-ramai memutuskan untuk memerdekakan diri. Kesempatan ini berusaha dimanfaatkan oleh Nagorno- Karabakh, warga Armenia kembali menggelar referendum yang memutuskan bahwa kemerdekaan Nagorno-Karabakh sebagai negara merdeka. Referendum tersebut langsung ditolak oleh masyarakat Azerbaijan yang menginginkan Nagorno-Karabakh untuk tetap bergabung dengan negara Azerbaijan.
Namun setelah menempuh jalur hukum diputuskan bahwa Nagorno-Karabakh tidak bisa memerdekakan diri karena ketika menjadi bagian Uni Soviet, status Nagorno-Karabakh bukanlah negara tetapi hanya sebagai daerah otonomi khusus. Konstitusi Uni Soviet hanya mengakui adanya 15 negara, mereka berhak untuk memerdekakan diri sedangkan Nagorno-Karabakh dianggap sebagai bagian dari Azerbaijan sehingga tetap ikut kepada induknya.
Masyarakat Armenia di Nagorno-Karabakh tidak puas, mereka melakukan perlawanan terhadap Azerbaijan untuk menuntut kemerdekaan. Pertempuran antara pasukan Azerbaijan dengan pasukan Nagorno-Karabakh langsung menyambar dengan cepat. Dengan bantuan Armenia, Nagorno-Karabakh bertempur dengan Azerbaijan. Tanpa menunggu waktu lama, kedua pihak langsung berperang.
November 1993, Presiden Azerbaijan Aliyev mengumumkan akibat peperangan tersebut ada 16 ribu tentara Azerbaijan telah meninggal dunia dan 22 ribu luka-luka.PBB juga mencatat ada 1 juta penduduk Azerbaijan yang mengungsi akibat peperangan ini.
PBB, Eropa maupun negara seperti Iran,Kazakhstan,Rusia, Turki dan beberapa negara lainnya telah berkali-kali mencoba melakukan mediasi, namun hasilnya selalu menemui jalan buntu,karena Armenia selalu bersikeras menolak jalan damai.
PBB,Iran dan Turki terus memperingatkan agar Armenia menarik mundur pasukannya dari Karabakh. Namun peringatan tersebut tidak digubris,sehingga peperangan terus berlanjut.
Dalam pertemuan tahunan yang berlangsung pada 15-17 Mei 2007 Dewan Menteri Luar Negeri OKI (Organisasi Konferensi Islam) mengeluarkan resolusi No. 7/34-P yang berisi perintah agar Armenia berhenti mengokupasi wilayah Azerbaijan, berhenti melakukan agresi terhadap Azerbaijan, berhenti melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap warga Azerbaijan, dan berhenti melakukan penghancuran terhadap benda cagar budaya, dan tempat-tempat keagamaan di wilayah yang diokupasi.
Pada pertemuan OKI di Dakar tanggal 13-14 Maret 2008, OKI kembali mengeluarkan Resolusi No. 10/11-P (IS) yang isinya hampir sama dengan resolusi sebelumnya.Resolusi OKI ini juga didukung oleh PBB, lewat Sidang Majelis Umum pada tanggal 14 Maret 2008, PBB mengeluarkan Resolusi No.62/243 yang berisi perintah kepada Armenia untuk segera meninggalkan wilayah Azerbaijan yang diokupasi dan mengembalikannya kepada Azerbaijan tanpa syarat dan secara utuh. Pada bulan Agustus 2008, AS, Perancis dan Rusia mengadakan perundingan upaya penyelesaian konflik secara penuh. Ketiganya mengusulkan untuk diadakan referendum di wilayah sengketa.
Kuatnya desakan masyarakat internasonal ini membuat Presiden Armenia, Serzh Sarkisian dan Presiden Azerbaijan, Ilham Aliyev untuk mengadakan pertemuan di Moskow. Pertemuan tersebut dilaksanakan pada tanggal 2 November 2008 dengan dimediasi oleh Dmitry Medvedev, pertemuan tersebut menghasilkan sebuah deklarasi bersama tentang komitmen untuk melakukan pembicaraan lebih lanjut.Keduanya akan mengadakan pertemuan lagi di Rusia tepatnya di kota Saint Petersburg.
Pada tanggal 22 November 2009, Presiden Azerbaijan, Presiden Armenia dan beberapa pemimpin negara lainnya berkumpul di Munich untuk melakukan pembicaraan upaya perdamaian di Nagorno Karabakh. Presiden Aliyev sempat mengancam akan menggunakan kekuatan militer untuk merebut kembali Nagorno-Karabakh jika pembicaraan tersebut tidak menghasilkan apapun.
Pembicaraan yang selalu mengalami jalan buntu membuat perjanjian gencatan senjata pun pecah dan mengakibatkan pertempuran antara kedua belah pihak. Pada tanggal 18 Februari 2010 dilaporkan tiga tentara Azerbaijan dan satu terluka dalam pertempuran. Pertempuran sempat berhenti namun pada bulan November kembali berkobar karena seorang penembak jitu Armenia secara sengaja memancing pertempuran dengan menembak pasukan Azerbaijan. Penembak jitu Azerbaijan membalas dengan menembak pasukan Armenia, pertarungan antar penembak jitu ini menewaskan 12 orang dari kedua pihak.
Sekjen PBB, Ban Ki Moon menyerukan agar semua penembak jitu ditarik dari wilayah sengketa agar tidak membuat resah.Masalah tidak juga selesai, Juru Bicara Departemen Pertahanan Azerbaijan, Letnan Kolonel Eldar Sabiroglu melaporkan bahwa pasukan Armenia masih sering menggunakan senapan mesin dan pelontar granat untuk memancing penyerangan.
Minggu (11/8/2020) Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev seperti dikutip BBC.Com mengumumkan bahwa pasukan Azerbaijan telah merebut Shusha, atau dikenal sebagai Shushi dalam bahasa Armenia.
Menurut Aliyev, merebut kota yang penting dan strategis merupakan kemenangan besar bagi Azerbaijan.
Aliyev juga mengatakan “pembebasan” Shusha akan dicatat dalam sejarah rakyat Azerbaijan.”Tidak ada kekuatan di dunia yang dapat menghentikan kami,” katanya, dan berjanji untuk merebut kembali Nagorno-Karabakh untuk negaranya.
Keberhasilan Azerbaijan merebut kembali Shusha dari Armenia mendapat sambutan hangat dari masyarakatnya. Menurut laporan Reuters pada (11/8/2020) mereka turun ke jalan untuk merayakannya, ada yang menyalakan klakson, ada yang membawa bendera Azerbaijan.
Warga berharap agar Azerbaijan bisa merebut kota lainnya di wilayah tersebut sehingga Nagorno-Karabakh bisa kembali ke pangkuan Azerbaijan.(Hs/kakniam.wordpres.com/bbc.com/Reuters)