Ketua JRKI: Revisi UU Penyiaran Kehilangan Arah

Ketua JRKI Sinam M Sutarno (baju biru garis)

Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI) pada kamis (13/7) mengadakan acara di Bakoel Coffie, Cikini Raya, Jakarta Pusat.

Menurut Ketua JRKI Sinam M Sutarno, acara ini diadakan untuk menanggapi draf RUU penyiaran versi Badan Legislatif (Baleg) DPR RI.

“ Revisi UU No.32 Tahun 2002 tentang penyiaran sudah berjalan hampir 7 tahun. Namun proses panjang ini belum juga memberikan arah yang jelas ke mana arah perubahan ini. Untuk itulah JRKI mengadakan acara ini,” ucap Sinam M Sutarno.

Lebih lanjut dikatakan oleh Sinam, di awal pembahasan DPR secara tegas menyampaikan tujuan dari revisi adalah membentuk sistem penyiaran nasional yang menjamin terciptanya tatanan informasi nasional yang adil, merata dan seimbang yang menjamin adanya keanekaragaman kepemilikan serta isi siaran.

“ Namun nyatanya draf revisi uu penyiaran versi Baleg DPR RI yang keluar pada 19 Juni 2017, justru tidak sejalan dengan arah awal kenapa harus ada revisi,” ucapnya.

Dijelaskan oleh Sinam, dalam draf revisi uu tersebut, Baleg terlihat tidak memiliki upaya yang nyata untuk memperkuat keberadaan lembaga penyiaran komunitas, padahal lembaga penyiaran adalah salah satu lembaga yang dimiliki langsung oleh komunitas. Dalam hal regulator penyiaran, draf Baleg juga memperlemah kewenangan KPI dengan melahirkan organisasi lembaga penyiaran dengan proses pembentukan yang tidak demokratis. Hal ini tentu saja menjadi ancaman bagi demokrasi penyiaran. Draf Baleg juga mengabaikan prinsip diversity of ownership dan diversity of content, karena tidak tegas dalam mengatur pembatasan kepemilikan lembaga penyiaran yang nyata-nyatanya menjadi permasalahan selama ini. Draf Baleg juga tidak mengatur tentang keberadaan penyiaran kebencanaan, padahal ini sangat dibutuhkan di Indonesia dan memang praktiknya sudah ada sejak tsunami aceh, gempa Yogja, erupsi merapi dan lain-lain. Draf Baleg juga menyebutkan bahwa lembaga penyiaran yang yelah mempunyai izin penyelenggaraan penyiaran (IPP) dapat menjadi penyelenggara multipleksing. Hal ini tentu saja membuat sisa frekuensi hasil migrasi yang harusnya bisa digunakan sebaiknya demi kepentingan masyarakat luas, menjadi milik lembaga penyiaran sebelumnya.

“ Hal-hal inilah yang membuat JRKI menuntut DPR untuk meluruskan kembali arah revisi uu penyiaran, memperkuat nilai-nilai kebangsaan yang bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat, serta memperkuat lembaga penyiaran komunitas sebagai bagian dari penyokong utama demokratitasi penyiaran,” tutupnya. (Teks dan Foto:GP-4)