Memasuki era revolusi industri ke empat atau yang lebih dikenal dengan istilah Industri 4.0, Kementerian Perindustrian RI telah merancang roadmap “Making Indonesia 4.0” guna mengimplementasikan sejumlah strategi untuk menghadapi era Industri 4.0.
Istilah Industri 4.0 pertama kali dicanangkan di Jerman pada 2011. Hal tersebut merupakan tren otomatis dan perubahan data terkini dalam teknologi industri. Era ini menuntut untuk menghasilkan “Smart Factory”. Kini, di era Industri 4.0, industri tidak sekadar fokus pada mesin produksi. Lebih jauh lagi, kini industri lebih mengacu pada memadukan mesin, internet of things, dan kecerdasan buatan.
Untuk itu, Kementrian Perindustrian (Kemenperin) telah merancang “Making Indonesia 4.0” sebagai peta jalan guna mencapai implementasi Industri 4.0. Melalui “Making Indonesia 4.0”, saat ini Kemenperin beserta seluruh jajaran pemerintah tengah optimis menjadikan Indonesia sebagai top 10 ekonomi terbesar dunia pada 2030. Dalam Sosialisasi Implementasi Industry 4.0, Maret 2018 lalu, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan, “Pada revolusi ke empat, menjadi lompatan besar bagi sektor industri. Dimana teknologi informasi dan komunikasi dimanfaatkan sepenuhnya. Sehingga melahirkan model bisnis yang baru dengan basis digital.”
Pusat Inovasi dan 3D Printing
Menindaklanjuti “Making Indonesia 4.0”, Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin akan membangun sejumlah pusat inovasi. Sebagai langkah awal, BPPI telah merencanakan untuk menginisiasi pembangunan Pusat Inovasi Makanan dan Minuman (PIMM). Menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Ngakan Timur Antara, alasan dipilihnya sektor makanan dan minuman sebagai langkah awal Industri 4.0 didasarkan pada besarnya kontribusi sektor tersebut dalam perekonomian nasional. “Tetapi di awal, kita menginginkan esensi ini mendapatkan penekanan-penekanan karena kita tahu bahwa food & baverage ini atau makanan ini menjadi andalan dari industri nasional kita,” paparnya, Kamis (30/5).
Menurut data Kemenperin, sektor industri makanan dan minuman telah berkontribusi lebih dari sepertiga dari total nilai Produk Domestik Bruto (PDB) industri pengolahan nonmigas nasional pada tahun 2017. Sektor ini pun dinilai berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja. “Ada dua hal, pertama karena PDB cukup besar, menyerap tenaga kerja juga cukup besar,” ungkap Ngakan.
Tak hanya itu, di tahun 2017, realisasi investasi sektor industri di sektor makanan dan minuman sebesar 38, 54 Triliun Rupiah untuk Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan 1, 97 Miliar US Dollar untuk Penanaman Modal Asing (PMA). Selain pusat inovasi di sektor makanan dan minuman, terdapat 4 sektor lain yang menjadi prioritas yaitu industri kimia, tekstil, elektronik, dan otomotif.
Dalam memasuki era Industri 4.0, terdapat pula 5 teknologi utama penopang pembangunan sistem revolusi industri ke empat ini. Selain Internet of Things dan Artificial Intelligence, terdapat Human-Machine Interface, Teknologi robotik & sensor, serta teknologi 3D printing. Kamis (7/6), dalam diskusi panel Global Innovation Barometer bersama Kemeperin dan General Electric (GE), GE Indonesia–salah satu perusahaan multinasional berbasis teknologi–tengah memfokuskan diri untuk 3D printer berbahan dasar metal.
CEO GE Indonesia Handry Satriago mengakui bahwa untuk saat ini skala Metal 3D printer masih belum dikategorikan sebagai industri besar. Namun, ia optimis untuk memulai teknologi baru. “Kita ngga bisa nunggu. Kalo menurut saya ya, kita jangan menunggu dulu semua pasarnya siap ya baru masuk. Lebih bagus juga kita memperkenalkan. We drive the market agar bisa tumbuh,” paparnya.
Tantangan Menuju “Making Indonesia 4.0”
Tantangan ekonomi sosial turut mempengaruhi tercapainya “Making Indonesia 4.0”. Beberapa tantangan tersebut antara lain adanya UMKM yang tertinggal, Pendanaan domestik & teknologi yang terbatas, kurang terlatihnya tenaga kerja, dan kecenderungan untuk tidak berubah. Saat ini, menurut Ngakan –yang turut hadir sebagai pembicara dalam diskusi panel Global Innovation Barometer–, kendala utama justru ada pada Sumber Daya Manusia (SDM). “Hanya ada sekitar 12 hingga 13% lulusan universitas dari 133,94 juta orang dari jumlah angkatan kerja di Indonesia,” ungkapnya.
Di kesempatan yang sama, Handry mengatakan bahwa ada beberapa hal yang perlu dilakukan dengan cepat. Pertama ialah pengembangan di Sekolah-sekolah Kejuruan dengan disiapkannya pengenalan terhadap teknologi mutakhir. “Kemudian hal-hal yang berhubungan dengan industrial internet, perlu disiapin dengan cepat karena belum ada ahlinya kan. Desain untuk manufacturing, ngga banyak yang tahu,” jelasnya.
Selain itu Handry mengatakan perlunya lebih banyak R&D yang bergerak dalam bidang STEM (Sciene, technology, engineering, & mathematics). “Karena ini menimbulkan creativity. This will create the new idea if you have any printed 3D,” gamblangnya. Hal tersebut juga mempertimbangkan ekspor market dan perbandingan persaingan dengan negara lain. “We are talking about competitive stophisticated kecanggihan sumber daya manusia yang ada,” ujar Handry.
Berbagai tantangan serta tuntutan untuk mempersiapkan diri, membuat Kemenperin tak hanya berjuang sendirian. Ngakan menyatakan bahwa semua kementrian terlibat dalam “Making Indonesia 4.0”. Tak hanya itu, dalam hal persiapan pembangunan pusat inovasi industri, BPPI Kemenperin juga telah bekerja sama dengan sejumlah expert global. Penguatan kerjasama tersebut diantaranya dengan Fraunhofer IPK, The Boston Consulting Group (BCG), dan International Enterpise Singapore (ESG). (RA)