Jakarta,gpriority.co.id-Biak – Beberapa waktu yang lalu Pangdam XVII/Cenderawasih Mayjen TNI Teguh Muji Angkasa, S.E., M.M didampingi Ibu Erni Teguh Muji selaku Ketua Persit Kartika Chandra Kirana Daerah XVII/Cenderawasih melakukan kunjungan kerja (Kunker) ke Biak Numfor. Kunjungan tersebut disambut hangat oleh para tetua adat Biak Numfor.
Kapendam menjelaskan kedatangan Pangdam XVII/Cenderawasih ke Biak dalam rangka kunjungan kerja ke Makorem 173/PVB dan Satuan jajarannya yang berada di Biak.
“Saat berkunjung ke Biak, Pangdam XVII/Cenderawasih dan Ibu disambutan secara adat Mansorandak yang merupakan sambutan penghormatan adat kepada sebagai penghargaan kepada tamu yang ditokohkan,” jelas Kapendam XVII/Cenderawasih.
Lantas apa sih yang dimaksud adat Mansorandak? Dilansir dari berbagai sumber, adat Mansorandak adalah Mansorandak adalah upacara penyambutan seseorang yang pergi dan pulang dari tempat yang baru dikunjunginya, atau seseorang yang untuk pertama kali menginjakkan kakinya ditempat yang baru.
Hal ini dimaknai sebagai suatu ungkapan syukur karena orang tersebut telah pulang atau kembali atau tiba dengan selamat. Mansorandak juga dilakukan terhadap tamu atau pembesar yang baru pertama kali datang ke suatu tempat.
Tempat yang baru dikunjungi tidak hanya tempat lain di luar Papua, tetapi juga di dalam wilayah Papua seperti ke Jayapura dan lain sebagainya. Jika orang tersebut mempergunakan transportasi laut, maka akan disiapkan upacara Mansorandak di pelabuhan laut, demikian pula jika melalui darat dan udara.
Jika yang dijemput masih anak-anak, maka anak tersebut akan langsung digendong oleh om-nya dengan menggunakan kain gendong yang sudah disiapkan. Di rumah diadakan pesta, disiapkan makanan yang digantung dengan tali seperti, ketupat (ketupat dengan ayam), pisang, tebu, pinang sirih dan lain-lain yang disebut Abiyoker. Juga disiapkan buaya (Wonggor) yang terbuat dari pasir putih. Buaya ini melambangkan bahwa orang yang baru datang itu telah melewati rintangan tanjung dan lautan yang luas, disimbolkan sebagai buaya yang dianggap sebagai raja laut.
Selain buaya disiapkan pula pasir yang dibentuk menyerupai Tuturuga/penyu (Wau) dan piring-piring besar sebanyak 9 buah yang diletakkan dalam bentuk barisan memanjang di depan pintu rumah. Sembilan buah piring besar melambangkan 9 Keret/Marga Suku Doreri.
Orang tersebut harus berjalan mengitari kearah kanan piring yang diletakkan memanjang dari arah Buaya ke Penyu sebanyak 9 kali. Setelah selesai putaran pertama, kaki orang itu akan dibasuh oleh tua adat yang memandu acara Mansorandak. Prosesi pembasuhan kaki ini berlangsung pada setiap putaran hingga pada putaran yang kesembilan.
Setelah putaran kesembilan dan pembasuhan kaki yang kesembilan berakhir, sembilan piring dipindahkan dan selanjutnya orang tersebut menginjak kepala Buaya (buaya yang terbuat dari pasir putih) hingga hancur. Lalu berjalan menuju penyu (penyu yang terbuat dari pasir putih) dan menginjaknya juga hingga hancur.(Hs.Foto.dok.Pribadi)