Penulis : Zulfitra | Editor :Lina F | Foto : Istimewa
Aceh, Gpriority.co.id – Sejak tahun 2009 hingga saat ini, tercatat ada sebanyak 30 kali pengungsi Etnis Rohingya yang telah terdampar dan mendarat di wilayah pesisir Aceh.
Dalam proses pendaratan mereka, masyarakat dan pemerintah Aceh pun kerap memberikan upaya pemberian pertolongan terhadap pengungsi Etnis Rohingya, baik di laut maupun di daratan.
Hal itu diungkap Sekretaris Daerah Aceh, M. Jafar ketika membuka kegiatan lokakarya tinjauan Paska-Respon Kemanusiaan pada Pendaratan Perahu Pengungsi Etnis Rohingya di Wilayah Aceh, yang diselenggarakan oleh pemerintah provinsi setempat, dan dalam hal ini adalah Satuan Tugas Penanganan Pengungsi Provinsi Aceh bersama lembaga IOM serta diikut beberapa LSM dan unsur pemerintah terkait, bertempat di Banda Aceh, pada Kamis, 10 Agustus 2023 beberapa waktu lalu.
“Bantuan yang diberikan tentunya atas dasar kemanusiaan. Kemudian khusus Aceh ada kearifan lokal yang mewajibkan semua yang butuh pertolongan di laut harus dibantu. Itu kewajiban dalam hukum adat yang telah berlangsung sejak turun-temurun,” kata Jafar.
Di Aceh, kata dia, dalam hal membantu pengungsi tentunya ada keinginan membantu orang lain. Karena, menurutnya, masyarakat Aceh pernah mengalami hal serupa, yaitu menjadi pengungsi.
Ia menyebut, saat itu masyarakat Aceh mendapat banyak bantuan dari dalam maupun luar negeri. Sehingga, pengalaman itu menjadi dasar kenapa bantuan dan pertolongan kepada para pengungsi itu patut dan harus dilakukan masyarakat Aceh.
Di tahun 2015, kata Jafar, sekitar seribuan pengungsi Etnis Rohingya yang mendarat di Aceh. Eksodus besar-besaran pengungsi yang kemudian ‘transit’ di Aceh itu kemudian memaksa pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri tentang Penanggulangan Pengungsi dari Luar Negeri. Dan aturan itu menjadi dasar hukum bagi pemerintah dan masyarakat untuk melakukan penanganan terhadap pengungsi Rohingya.
“Tentunya, dalam perjalanannya pastinya ada kelemahan dan kekurangan. Pemerintah daerah masih mengalami kesulitan dalam penanggulangan, karena Permen tidak secara tegas mengatur kewenangan pemerintah daerah,” katanya.
Akibatnya, Pemerintah daerah kemudian tidak bisa membentuk lembaga khusus, melainkan hanya Satgas yang sifatnya insidentil dan hanya bisa berkoordinasi tanpa aksi.
“Saya harap pada pertemuan ini bisa dibahas apa yang mestinya dilakukan jika ada lagi pengungsi yang mendarat dan bagaimana penindakan yang harus kita lakukan kepada mereka,” harapnya.
“Saya juga berharap Satgas dan IOM bisa membantu mencoba advokasi sehingga ada payung hukum lebih lebih tinggi seperti PP,” imbuhnya.
Lebih jauh, Jafar menyebut pemerintah dan masyarakat Aceh memang mendapat banyak pujian hingga ke dunia internasional dalam hal penanganan terhadap pengungsi Etnis Rohingya. Namun, disisi lain juga ada banyak isu negatif dalam proses penanganan tersebut, seperti isu human traficking. Bahkan ada proses hukum untuk hal itu.
Oleh karenanya, dalam kesempatan itu Jafar mengingatkan agar persoalan hukum tersebut jangan sampai membuat persoalan kemanusiaan dilupakan dan tetap harus dilakukan secara optimal.
“Terkait persoalan hukum, kita serahkan kepada penegak hukum. Jadi harapannya, pertemuan hari ini bisa menjelaskan lebih detail bagaimana penanganan pengungsi yang baik yang sesuai dengan kemanusiaan, kearifan lokal, dan tidak bertentangan dengan hukum. Dengan itu kita bisa membantu dengan baik dan tidak terjerat dengan masalah,”ujarnya.