Sektor Pertanian Semakin Tumbuh, Presiden Jokowi: Momentum Positif ini Harus Dijaga


Jakarta,Gpriority-Berdasarkan laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS) terkait laporan ekonomi Indonesia Kuartal II, sektor pertanian mengalami pertumbuhan paling tinggi dibandingkan sektor lainnya yakni 16,24%.

Momentum positif ini menurut Presiden Joko Widodo saat memimpin rapat terbatas dengan topik korporasi Petani dan Nelayan Dalam Mewujudkan Transformasi Ekonomi pada Selasa, 6 Oktober 2020, melalui konferensi video dari Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, harus tetap dijaga. Caranya dengan meningkatkan kesejahteraan petani. “ Selain petani, nelayan juga harus disejahterakan pula, agar hasil tangkapan mereka semakin meningkat,” tutur Jokowi.

Jokowi dalam ratas tersebut juga menyampaikan bahwa petani dan nelayan juga perlu didorong untuk berkelompok dalam jumlah yang besar dan berada dalam sebuah korporasi sehingga diperoleh skala ekonomi yang efisien yang bisa mempermudah petani dan nelayan dalam mengakses pembiayaan, informasi, teknologi, dan meningkatkan efisiensi maupun memperkuat pemasarannya.

“ Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan pula perubahan pola pikir dari yang semula hanya berfokus pada urusan budidaya pertanian menjadi sekaligus memikirkan aspek komersialisasi dan pemasaran dari hasil pertanian. Sehingga yang harus dilakukan ke depannya ialah membangun proses bisnis terintegrasi mulai dari produksi hingga proses setelah panen,” tegas Jokowi.

Ketika ada peserta ratas yang mengatakan bahwa korporasi nelayan dan petani sudah bermunculan di beberapa daerah, Jokowi mengatakan, masih belum berjalan optimal di lapangan. Karena belum digarap secara serius dan tidak memiliki ekosistem berkesinambungan serta terhubung dengan BUMN atau bahkan pihak swasta. “Karena itu saya menekankan beberapa hal. Pertama, saya minta kita fokus membangun satu atau maksimal dua model bisnis korporasi petani atau korporasi nelayan di sebuah provinsi sampai betul-betul jadi sehingga ini nanti bisa dijadikan contoh oleh provinsi lain dan kelompok petani serta nelayan yang lain,” ucap Jokowi.

Jokowi meyakini apabila terdapat satu contoh sukses dari korporasi petani dan nelayan yang telah memiliki model bisnisnya, maka akan lebih banyak kelompok tani dan nelayan yang ingin mengikuti dan mengembangkan hal yang serupa di tempat mereka masing-masing.

Selain itu, Kepala Negara juga menginstruksikan agar peran BUMN dan pihak swasta tidak hanya terbatas sebagai pembeli hasil panen, melainkan turut mendampingi kelompok tani tersebut agar dapat berkembang lebih jauh secara bersama-sama. “Peran BUMN, swasta besar, atau BUMD bukan semata-mata sebagai offtaker, tapi juga mendampingi mereka. Mendampingi korporasi petani dan nelayan sampai terbangun sebuah model bisnis yang betul-betul berjalan. Ini yang belum ada,” tuturnya.

Model bisnis yang hendak dibangun tersebut di antaranya ialah proses pengolahan hasil panen mulai dari pengemasan, branding, strategi pemasaran, termasuk menghubungkan semua itu dengan sistem perbankan, para inovator teknologi, dan manajemen yang mampu mengelola semuanya dengan baik. Setelah semua hal tersebut dapat terbentuk, maka langkah selanjutnya yang harus dilakukan ialah memperkuat ekosistem bisnisnya melalui regulasi yang mendukung.

Menanggapi jeritan petani terkait sulitnya mendapatkan pupuk bersubsidi, Jokowi mempersilahkan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo untuk menjawabnya. Menurut Syahrul guna mengatasi permasalahan ini, Kementan (Kementerian Pertanian) menambah anggaran ke Kementerian Keuangan untuk pupuk subsidi sekitar 1 juta ton atau senilai Rp.3,14 triliun. “ Alhamdulillah DIPA tambahan untuk pupuk subsidi disetujui. Dan Insya Allah minggu depan dananya sudah cair,” ucap Syahrul.

Syahrul menjelaskan penurunan alokasi pupuk 2019 terjadi karena menurunnya luas baku lahan pertanian Badan Pertanahan Nasional (BPN) dari tahun 2013 seluas 8 juta ha menjadi 7,1 ha. “ Akibatnya subsidi untuk pupuk turun sebesar Rp. 2 triliun,” ucap Syahrul.

Guna menyiasati hal tersebut, Kementan menyiasatinya dengan pengurangan dosis pemakaian pupuk. “ Yang tadinya NPK 300 kg/ha menjadi 200 kg/ha. Untuk urea, dari anjuran 150-300 kg/ha, Kementan menganjurkan pemakaian di 200/kg. Namun tetap saja petani kesulitan mendapat subsidi. Sehingga jalan satu-satunya adalah menambah anggaran,” tutup Syahrul. (Hs.Foto.BPMI Setpres)