Asal Usul Nama Salatiga

Salatiga merupakan sebuah nama Kota yang terletak Provinsi Jawa Tengah.

Berdasarkan literasi sejarah, cikal bakal lahirnya Salatiga tertulis dalam batu besar berjenis andesit berukuran panjang 170 cm, lebar 160 cm dengan garis lingkar 5 meter yang selanjutnya disebut prasasti Plumpungan.

Berdasarkan Prasasti yang berada di Dukuh Plumpungan, Kelurahan Kauman Kidul, Kecamatan Sidorejo itu, Salatiga sudah ada sejak tahun 750 Masehi. Di zaman tersebut Salatiga sudah menjadi Perdikan.

Pemberian perdikan tersebut merupakan hal yang istimewa pada masa itu. Karena diberikan langsung oleh seorang raja dan tidak setiap daerah kekuasaan bisa dijadikan daerah Perdikan.

Perdikan berarti suatu daerah dalam kerajaan tertentu yang dibebaskan dari segala kewajiban pembayaran pajak atau upeti karena memiliki kekhususan tertentu. Dasar pemberian daerah perdikan itu diberikan kepada desa atau daerah yang benar-benar berjasa kepada seorang raja.

Prasasti yang diperkirakan dibuat pada Jumat, 24 Juli tahun 750 Masehi itu, ditulis oleh seorang Citraleka, yang sekarang dikenal dengan sebutan penulis atau pujangga, dibantu oleh sejumlah pendeta atau resi dan ditulis dalam bahasa jawa kuno: “Srir Astu Swasti Prajabyah” yang berarti “Semoga Bahagia, Selamatlah Rakyat Sekalian“.

Sejarawan memperkirakan, bahwa masyarakat Hampra atau sekarang dikenal Salatiga telah berjasa kepada Raja Bhanu yang merupakan seorang raja besar dan sangat memperhatikan rakyatnya, yang memiliki daerah kekuasaan meliputi sekitar Salatiga, Kabupaten Semarang, Ambarawa, dan Kabupaten Boyolali.

Penetapan di dalam prasasti itu merupakan titik tolak berdirinya daerah Hampra secara resmi sebagai daerah Perdikan dan dicatat dalam prasasti Plumpungan. Atas dasar catatan prasasti itulah dan dikuatkan dengan Perda No. 15 tahun 1995 maka ditetapkan Hari Jadi Kota Salatiga jatuh pada tanggal 24 Juli.

Terkait pergantian nama dari Hampra ke Salatiga, laman resmi Kota Salatiga menuliskan bahwa itu terjadi pada masa Sunan Kalijaga. Di masa tersebut, Sunan Kalijaga yang marah dengan pemimpin yang tamak yakni Bupati Ki Ageng Pandan Arang alias Pandanaran yang gemar memuaskan diri dengan kekayaan melakukan penyamaran menjadi seorang kakek tua.

Pada suatu hari, Ki Ageng Pandan Arang, bertemu dengan pak tua, tukang rumput. Kemudian, Ki Ageng meminta rumput yang pak tua bawa. Namun, pak tua menolaknya dengan alasan untuk ternaknya. Tetapi Ki Ageng tetap memintanya dan Ki Ageng menggantinya dengan sekeping uang.

Tanpa diketahui Ki Ageng Pandan Arang, Pak tua menyelipkan kembali uang itu dalam tumpukan rumput yang akan dibawa dan hal tersebut terjadi berulang-ulang. Sampai suatu kali Sang bupati menyadari perbuatan Pak tua tersebut, sehingga marahlah Ki Ageng dan menganggap bahwa Pak tua telah menghinanya.Akhirnya Sunan Kalijaga memaafkannya dengan syarat Ki Ageng harus meninggalkan seluruh hartanya dan mengikuti Sunan Kalijaga pergi mengembara. Namun, istri bupati melanggar, ia membawa emas dan berlian dan memasukkannya ke dalam tongkat.

Di tengah perjalanan mereka dicegat sekawanan perampok. Sunan Kalijaga menyuruh perampok itu untuk mengambil harta yang dibawa istri bupati. Para perampok pun pergi membawa tongkat yang berisi emas dan berlian. Setelah perampok itu pergi Sunan Kalijaga berkata: “Aku akan menamakan tempat ini Salatiga karena kalian telah membuat tiga kesalahan”.

“Pertama, kalian sangat kikir. Kedua kalian sombong. Ketiga kalian telah menyengsarakan rakyat. Semoga tempat ini menjadi tempat yang baik dan ramai nantinya.”(Hs.Foto.Humas Salatiga)