Praktik penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang serta merendahkan martabat manusia masih terus terjadi di Indonesia.
Data Komnas HAM RI periode 2019 hingga April 2020 mencatat 15 kasus dugaan penyiksaan atau perlakuan merendahkan martabat dan tidak manusiawi yang terjadi di tengah proses interogasi oleh pihak kepolisian.
Bahkan Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM Amiruddin mengatakan bahwa Indonesia mempunyai pengalaman yang menyedihkan terkait penyiksaan yang terjadi di masa lalu dan berlanjut hingga saat ini. “Masih banyak laporan yang diterima Komnas HAM terkait penyiksaan di berbagai tempat,” ungkapnya di dalam Diskusi ‘Dukungan Pers terhadap Pencegahan Penyiksaan’ yang diselenggarakan secara daring oleh Komnas Ham, Pencegahan Penyiksaan (KuPP) dan Dewan Pers, Selasa (26/01/2021).
Namun yang amat disayangkan, kasus pelanggaran HAM dan penyiksaan sangat jarang sekali diekpos oleh media massa, untuk itulah dalam acara ini Amiruddin meminta mulai saat ini media massa rajin mengekspos berita mengenai pelanggaran HAM dan juga penyiksaan.
Wakil Ketua Dewan Pers Hendry CH Bangun mengamini pernyataan Amiruddin.” “Harus diakui, pers jarang sekali memberitakan penyiksaan, karena kurangnya informasi, kurangnya dukungan data, sehingga bisa-bisa nanti kalau diberitakan melanggar kode etik,” ujar Hendry
Hendry pun memberikan contoh mengenai kasus tangan dipaku di Jakarta selatan, karena informasi yang didapat dari tangan kedua, berita penyiksaan tersebut malah menjadi permasalahan.
Disamping itu, kondisi ekonomi media massa di era sekarang ini juga menjadi faktor lain pemberitaan isu penyiksaan dan HAM tidak terkespos.
“Masalah ekonomi betul-betul membuat banyak media tidak bergerak, membuat mengurangi SDMnya lalu fokus ke hal-hal yang menarik banyak klik, yang membuat banyak orang membacanya, ini malah tambah sulit ya,” tutupnya.(Hs)