Mencari Rezeki, Mendekati Mati

Selain dijuluki Kota Hujan, Bogor juga dijuluki Kota Seribu Angkot. Hal ini karena banyaknya angkot yang beroperasi di wilayah Bogor. Di tengah pandemi korona ini, angkutan kota tetap beroperasi.

Agung (22), warga Cicere, Cigudeg, Bogor, adalah salah satu pengemudi angkot itu trayek Jasinga-Terminal Laladon. Iaberoperasi setiap hari dari pukul 04.00 dan pulang ke rumah ketika matahari sudah terbenam. Ia juga sering pulang larut malam.

“Saya narik angkot untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, sebelum ada virus korona ini biasanya saya mendapat bagian sebesar Rp150 ribu pas adanya korona ini penghasilan saya menurun,” tuturnya saat diwawancarai, Rabu (27/5).

Kondisi perekonomian masyarakat selama pandemi ini menurun drastis, dengan berlakunya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) penumpang angkutan kota pun dibatasi. Angkot yang biasanya mengangkut sebanyak 12 penumpung kini hanya diperbolehkan untuk mengangkut lima penumpang.

Adanya pembatasan penumpang tersebut, ia harus memutar otak agar kebutuhan hidup dan biaya setor ke pemilik angkot tetap terpenuhi.

Kadang si bos enggak pengertian, uang setoran mobil pada awalnya enggak ada pengecualian. Tapi setelah saya nego akhirnya si bos mau memaklumi dan menurunkan biaya setoran tersebut. Alhamdulilah,” terangnya.

Uang setoran yang biasa Agung setorkan sebelum pandemi ini sekitar setengah dari pendapatannya sehari-hari. Meskipun nominal setoran sudah diturunkan, Ia tetap kesulitan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Adanya pembatasan penumpang dan imbauan untuk di rumah saja membuat sepinya calon penumpang angkot di sepanjang jalur trayek Jasinga-Terminal Laladon.

“Saya juga sebenarnya takut terkena virus korona ini, tapi ya mau gimana lagi. Kalau enggak narik, saya enggak punya uang buat makan, ujar Agung.

Kenyataan akhir-akhir ini sangat memilukan, para pekerja lapangan mendekati kematian demi mencari rezeki di masa krisis kesehatan.

“Ya, semoga masa pandemi korona ini segera berakhir dan kehidupan yang layak segera pulih kembali dan kebijakan pemerintah semoga melihat kondisi perekonomian masyarakat kelas bawah seperti saya,” tukas Agung dengan suara yang rendah.

Walaupun pendapatan Agung tidak seperti biasa, ia tetap menekuni pekerjaannya sebagai pengemudi angkot. Gairah hidupnya bisa dirasakan meskipun harus berdekatan dengan maut.(Reza Yudhistira,Mahasiswa Sastra Indonesia FISIB Universitas Pakuan)