Bagi pelukis yang paling utama adalah berpikir kreatif. Sebab mampu menghasilkan karya-karya yang terbilang menarik minat pengunjung untuk melihat dan mengkoleksinya. Salah satu pelukis yang senang berpikir kreatif adalah Hanafi. Beliau selalu membuat karya-karya yang berbeda dalam setiap pamerannya. Alhasil, karya beliau banyak dibeli oleh kolektor lukisan.
Hanafi mengingatkan orang pada Affandi yang sama-sama melukis dengan kecepatan tinggi dan seakan merelatifkan peran ilham dan ide. Seperti halnya Affandi, Hanafi tidak memiliki “desain” terlebih dahulu. Ia menghadapi kanvas layaknya “medan tempur yang ganas”. “Jika sedang melukis, aku bekerja dengan ingatan. Tak mungkin melihat benda-benda yang hendak kulukis sekaligus melihat tanganku bekerja dalam kesatuan tempo yang sama. Tangan memiliki pelihatannya sendiri, ingatannya sendiri. Aku dapat mengingat banyak hal yang tak bisa kuraba, tak pernah punya perasaan tersesat,” Kata Hanafi yang ditemui seusai pameran 57 x 76 di Galeri Nasional pada Juni Lalu.
Dalam melukis, Hanafi sulit untuk menanggalkan biografi kehidupannya, bahkan peristiwa yang baru saja berlalu dalam beberapa detik sekalipun. Ia tidak pernah sungguh-sungguh bisa melepaskan latar belakang itu meski tidak berarti ia tidak berjarak. Justru karena jaraklah, Hanafi bisa leluasa menilai kehidupannya sendiri dan jarak itu memberi ruang dan waktu untuk merenungkan keseniannya. Menurutnya lagi, lukisan-lukisan itu adalah cara untuk menularkan sensibilitas pemirsa terhadap hal-hal remeh yang mungkin (pernah) tersingkir dari realitas kita sehari-hari atau terdepak dari budaya dominan. Dengan begitu, ia seperti menyuarakan sebuah keberpihakan pada narasi kecil, pada hal-hal yang abnormal, terpendam, tabu dan menyimpang. Dari sudut penilaian yang lain, lukisannya, secara ajaib, mampu mengasah selera-selera estetik kita ke suatu tingkat: suatu ruang yang asing sekaligus menyenangkan.
Lukisan-lukisan Hanafi keluar-masuk dari dogma formalisme. Hanafi memaknai garis tidak hanya sebagai garis atau warna semata warna. Lebih jauh, Hanafi tak hanya mengedepankan kekuatan (magis) puitis melalui teks yang sengaja ia tebarkan di sekujur kanvas. Seperti yang telah dikatakan, Hanafi melukis “hal-hal kongkrit dari wilayah dalam”. Terkadang ia menegaskannya melalui sebait puisi atau bentuk yang samar cukup bisa dikenali. Pelukis Zaini, saya kira, melakukan hal yang sama. Lukisan-lukisannya nirbentuk, tetapi tetap tidak menjauhi asalinya. Kita masih mengenalnya sebagai “ayam” atau “pepohonan”. Perpaduan lukisan minimalis ala Roedjito yang nirmana dan lirisisme Zaini sering berlangsung di atas kanvas yang lenggang – tak jauh berbeda ketika kanvas itu masih belum dibalur cat. Seni untuk seni dalam koridor ini adalah meniadakan narasi di atas kanvas. Adapun kanvas hanyalah bidang datar yang mewakilkan “problem seni” yang tidak membawa apapun dari kehidupan. Pada Hanafi, seni di situ tampaknya bukan lagi bidang kosong yang “mewakilkan problem kehidupan”, melainkan disorongkan sebagai “problem filsafat”.
Karya Hanafi Bukan Hanya Lukisan
Hanafi dilahirkan di Purworejo, Jawa Tengah, pada tanggal 05 Juli 1960. Ia menamatkan pendidikan seni rupa di Sekolah Seni Rupa (SSRI) Yogyakarta pada 1979.
Karya-karya Hanafi tidak melulu lukisan, tetapi juga seni instalasi, baik yang dipamerkan maupun diikutkan dalam proyek kolaborasi dengan seniman lain, seperti dalam pementasan teater, tari dan sastra. Malah, di studionya, di kawasan Pancoran Mas, Depok, Hanafi bersama istrinya, Adinda Luthvianti, mengadakan pelatihan seni untuk anak-anak setempat. Lukisan-lukisannya, terutama, mengangkat kembali pamor lukisan abstrak yang pada awal 1990-an mulai ditinggalkan oleh perupa di Indonesia.
Sejak awal 1990 hingga tahun ini, Hanafi telah menggelar tidak kurang dari 37 pameran tunggal dan 79 pameran bersama. Pameran tunggal pertamanya yang sempat tercatat berlangsung di Hilton Executive Club, Jakarta, pada 1993. Sejak itu, hampir setiap satu atau dua tahun, ia menggelar pameran tunggal. Yang terakhir adalah seri Migrasi Kolong Meja di Galeri Semarang dan Komaneka Fine Art Gallery, Ubud. Sebelum itu adalah Hanafi Solo Exhibition, Ciptadana, Jakarta, dan Sin Sin Fine Art, Hong Kong (2011); Saat Usia Lima Puluh, Komaneka Fine Art Gallery, Ubud, dan Galeri Nasional Indonesia, Jakarta (2010); Of Spaces and Shadows, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, dan Galeri Salihara, Jakarta (2009); Tiga Hari dalam Sepatu, Bentara Budaya Jakarta (2005); Sepuluh Tahun Pertama, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta (2002); dan Sabuk-Sabuk Hanafi, Gorong-gorong Budaya, Depok (2005). Sementara pameran bersamanya, antara lain, Restart, ICAD 2013, Grand Kemang Hotel, Jakarta (2013); Ekspansi, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta (2011); Art Beijing 2008, National Agricultural Exhibition Center, Beijing (2008); dan Jakarta Biennale X, Galeri Cipta II, TIM (1996).
Karya kolaborasinya dengan seniman lain, misalnya, 57 x 76 bersama Goenawan Mohammad di Galnas (2018), Mirah Mini: Hidupmu, Keajaibanmu, bersama novelis Nukila Amal, dia.lo.gue Art Space, Jakarta (2012); Hujan Mencari Kali, bersama Hikmat Gumelar dan Adinda Luthvianti, Universitas Padjadjaran Bandung (2010); dan Window, bersama Liem Fei Shen (koreografer Singapura) dan Maxine Heppner (penari Kanada), Substation, Singapura (2002).
Hanafi telah memenangi sejumlah penghargaan seni. Misalnya, Anugerah Kebudayaan FIB UI (2005), Finalis Indofood Art Awards (2003, 2002) dan 10 Terbaik Philip Morris Indonesia Art Awards.(Hs)