Hari Guru Nasional (HGN) diperingati setiap tanggal 25 November, yang ditetapkan oleh Presiden Soeharto pada 25 November 1994, dengan sebuah Keputusan Presiden, yaitu Kepres Nomor 78 tahun 1994 tentang Hari Guru Nasional.
Hari Guru yang bersamaan dengan hari ulang tahun Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) ini bukanlah hari libur resmi. Biasanya peringatan tersebut dirayakan dalam bentuk upacara di sekolah-sekolah dan pemberian tanda jasa bagi guru, kepala sekolah, dan pengawas sekolah. Guru di Indonesia dianggap sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menegaskan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Sejarah Hari Guru di Indonesia berawal dari adanya Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB). PGHB merupakan organisasi perjuangan para guru pribumi pada masa pemerintahan Hindia – Belanda yang berdiri pada tahun 1912. Para anggota tersebut berasal dari latar pendidikan yang berbeda-beda.
Pada umumnya, anggota yang tergabung dalam PGHB bertugas di sekolah desa serta sekolah rakyat. Akan tetapi, tidak mudah bagi PGHB untuk memperjuangkan nasib para anggotanya yang memiliki pangkat, status sosial, dan latar belakang pendidikan yang berbeda.
Selain PGHB, berkembang juga organisasi guru lainnya yaitu Perserikatan Normaalschool (PNS), Hogere Kweekschool Bond (HKSB), Persatuan Guru Bantu (PGB), Perserikatan Guru Desa (PGD), dan Persatuan Guru Ambachtsschool (PGAS).
Selain itu juga ada organisasi guru yang bercorak keagamaan, kebangsaan atau lainnya seperti Katolieke Onderwijsbond (KOB), Christelijke Onderwijs Vereneging (COV), Vereneging Van Muloleerkrachten (VVM), dan Nederlands Indische Onderwijs Genootschap (NIOG) yang beranggotakan semua guru tanpa membedakan golongan agama.
Para guru tersebut selalu berusaha dalam memperjuangkan persamaan hak dan posisi mereka terhadap Pemerintah Hindia – Belanda. Perjuangan mereka menghasilkan Kepala HIS (Hollandsch Inlandsche School), yang dulu selalu dijabat oleh orang Belanda, satu per satu pindah dan dijabat oleh orang Indonesia.
Perjuangan para guru pun semakin berkobar pada kesadaran dan cita-cita kemerdekaan. Perjuangan guru tidak melulu perjuangan perbaikan nasib dan kesamaan hak dan posisi dengan Belanda. Akan tetapi, perjuangan mereka telah memuncak menjadi perjuangan nasional dengan teriakan ‘merdeka’.
Pada tahun 1932, 32 organisasi guru yang berbeda-beda latar belakang, paham dan golongan sepakat bersatu mengubah Persatuan Guru Hindia Belanda menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI). Perubahan nama tersebut membuat pihak Belanda terkejut, karena kata “Indonesia” yang mencerminkan semangat kebangsaan yang tidak disukai oleh Pemerintah Hindia – Belanda.
Pada masa pendudukan Jepang, segala organisasi dilarang termasuk Persatuan Guru Indonesia. Sekolah ditutup dan Persatuan Guru Indonesia tidak dapat lagi melakukan aktivitas.
Kemudian pelaksanaan Kongres Guru Indonesia pada tanggal 24 – 25 November 1945 di Surakarta menyebutkan bahwa seluruh organisasi dan kelompok guru yang didasarkan atas perbedaan seperti pendidikan, agama, dan sebagainya sepakat dihapuskan. Mereka bersepakat untuk membentuk Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) pada tanggal 25 November 1945. (Dwi)