Tradisi Hela Rotan Negeri Aboru Ajarkan Persatuan

Jakarta, GPriority.co.id – Hela Rotan merupakan tradisi unik Di Kabupaten Maluku Tengah yang berkaitan erat dengan sejarah terbentuknya negeri Aboru.

Dilansir dari situs Kebudayaan Kemendikbud Ristek, pada awalnya tradisi hela rotan bertujuan untuk menyatukan masyarakat dari 4 petuanan, yaitu Petuanan Latu Sinai dari Negeri Aboru, Petuanan Latuconsina dari Negeri Pelauw, Petuanan Latu Marawakan dari Negeri Oma dan Petuanan Latu Surinai dari Negeri Rohomoni.

Munculnya tradisi ini berawal dari perintah Kapitan Aboru Tua Saia dan Nahumury yang menginginkan semua warga dari 4 Latu ini bersatu. Hingga sekarang tradisi Hela Rotan ini masih rutin diselenggarakan.

Biasanya dilaksanakan memperingati hari-hari besar keagamaaan atau peristiwa-peristiwa tertentu yang bertepatan dengan prosesi adat tertentu di Aboru. Tradisi ini telah dilakukan masyarakat Aboru setiap tahun, dimulai pada akhir tahun Desember. 

Tradisi hela rotan mulanya terjadi ketika daerah di negeri yang baru terbentuk tidak mampu mendukung kebutuhan warga karena tidak adanya air. Masalah tersebut membuat Kapitan Saia turun tangan untuk mencari negeri baru.

Dalam pencarian daerah baru tersebut, terjadi pro dan kontra. Untuk mencari jalan damai sampai masuk negeri baru, maka dilakukan jengkal atau pengukuran dengan rotan karena di masa itu belum ada alat ukur.

Ketika sampai di negeri baru, kedua kubu mulai melakukan tanding dengan cara menarik rotan (hela rotan). Hal ini dianggap sebagai cara yang adil dalam menyelesaikan dan mendamaikan kekacauan tentang perpindahan negeri oleh pemenangnya.

Dalam melakukan tradisi ini sendiri tidak terdapat aturan yang mengikat. Namun keterlibatan semua warga dalam mempersiapkan alat dan bahan rotan untuk ditarik oleh semua anak cucu, laki-laki perempuan tua dan muda sangat diperlukan.

Untuk mengawali tradisi ini, pemerintah Negeri Aboru yakni raja dan saniri negeri terlebih dulu menentukan tanggal dan waktu pelaksanaan lewat rapat saniri di Baeleu. Setelah rapat dilaksanakan maka masyarakat mulai bergegas memotong rotan yang menjadi bahan atau property utama tradisi.

Secara keseluruhan, tradisi ini membutuhkan waktu persiapan selama 2 sebelum pelaksanaan. Mulai dari persiapan pengambilan pembesihan bahan dan penganyaman rotan.

Rotan yang dipotong diambil dari wilayah petuanan Aboru yang berada di gunung Hatuasa,Wemakel. Ada persiapan-persiapan yang dilakukan dalam perjalanan mengambil rotan.

Sebelum berangkat ritual doa dilakukan sesuai kepercayaan dan keyakinan masyarakatnya. Selanjutnya pengambil rotan akan dibekali persediaan makan dam minum selama perjalanan. Setelah rotan disiapkan dan dibawa ke dalam negeri, kemudian masyarakat akan bergotong royong mengikat utas-utas rotan tersebut menjadi satu.

Rotan-rotan yang diikat harus terdiri dari 500 urat/utas dan panjang rotan mencapai 300 meter.  Terdapat 2 bagian rotan yang diikat, masing-masing berjumlah 16 urat. Bagian pertama berupa 4 utas yang terdiri 16 rotan yang di pelating (anyam), sedangkan bagian kedua merupakan satu berjumlah 5 utas.

Dari panjang 300meter diletakan sebuah kayu besar (pakal) yang akan membagi kedua bagian panjang rotan. Tidak ada pemaknaan khusus pada ikatan-ikatan tersebut. 

Namun sebagian masyarakat menganggap bahwa dalam 1 liliran utas melambangkan 4 petuanan besar yang pertama di pulau Haruku. Jika digabung dengan 5 utas menjadi 9 utas yang merupakan rumpun negeri adat tersebut, yaitu pata siwa.

Setelah rotan selesai dianyam, kemudian rotan diletakan di tengah jalan utama negeri tersebut. Pada waktu yang ditentukan masyarakat akan mulai berdatangan untuk melakukan tarik menarik rotan.

Biasanya tarik menarik dilakukan oleh semua warga dari tiap kalangan manapun yang hadir pada saat itu. Sebelum melakukan tarik menarik, satu orang akan ditunjuk untuk melakukan aba-aba.

Selanjutnya warga dibagi menjadi dua kelompok, kiri dan kanan yang masing-masing memilki jumlah sama besar sehingga kekuatan untuk tarik menarik dapat seimbang.

Tarik menarik bisa berlangsung pagi hingga malam. Di sini ada adu kekuatan dalam menarik rotan. Harga diri dan kekompakan dipertaruhkan dalam tarik menarik memindahkan batas (pakal kayu) yang disediakan.

Selain tarik menarik terdapat kapata-kapata yang dilantunkan selama menarik rotan untuk meningkatkan kekompakan kebersamaan dan rasa persaudaran yang terjalin dalam tradisi ini.

Usai tradisi tarik menarik rotan selama sehari suntuk, keesokan harinya akan diadakan acara makan bersama (patita). Makan patita melambangkan keterikatan persaudaraan dalam sebuah meja makan panjang yang sederhana beralaskan daun kelapa.

Menu yang dihidangkan berupa makanan tradisional masyarakat Aboru yang biasa disajikan pada acara-acara tertentu, namun tak lepas dari makanan pokok setiap hari.

Setelah kegiatan patita selesai, maka akan terdengar aba-aba berkumpul untuk mengarak rotan ke laut. Bisanya rotan di bawa ke labuan negeri Aboru untuk ditenggelamkan. 

Membiarkan sisa rotan di dalam negeri adalah suatu pantangan bagi warga Aboru. Mereka meyakini bahwa sisa-sisa rotan yang ada akan mendatangkan penyakit bagi masyarakatnya.

Rotan yang diarak juga tidak boleh sampai mengenai tanah. Agar rotan tenggelam hingga ke dasar laut, maka batu-batu akan diikat di sekitar rotan.

Pada tahun 2020 lalu, tradisi Hela Rotan berhasil memecahkan rekor MURI dengan diikuti oleh 10.000 orang. Budaya tersebut ditampilkan untuk mempromosikan tradisi Hela Rotan kepada seluruh masyarakat Indonesia dan dunia.

Tradisi ini merupakan suatu wujud persatuan masyarakat. Sehingga harus dipertahankan oleh anak negeri demi menjaga dan mempererat hubungan persaudaraan. (Vn)