Tuberkulosis dan Cara Pengobatannya

Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu jenis penyakit yang tidak asing lagi bagi masyarakat dan salah satu jenis penyakit yang perlu diantsipasi pada masa kekinian (Pandemi Covid-19). Sebab, baik virus Covid-19 maupun penyakit TB sama-sama menyerang paru-paru kita (manusia).

Terkait hal tersebut Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesi Dr. dr. Agus Dwi Susanto, Sp.P(K),FISR, FAPSR mengatakan di kalangan masyarakat penyakit ini lebih familiar dikenal dengn nama TBC. Namun, TBC kepanjangan dari tuberkulosis, dan lebih tepat dalam dunia kedokteran disingkat sebagai TB.

TB adalah suatu penyakit kronik menular yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberculosis. “Sebagian besar kuman TB sering mengenai paru dan menyebabkan TB paru namun bakteri ini juga memiliki kemampuan untuk menginfeksi organ lainnya (TB ekstra paru) seperti pleura, kelenjar getah bening, tulang, tenggorokan, pita suara, otak, mata, saluran cerna seperti usus, kulit dan lain-lain,” kata dokter kelahiran Kudus, 14 Agustus 1974.

Lebih lanjut dokter yang juga menjabat sebagai Ketua Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI RS Persahabatan ini menjelaskan Penyakit TB disebabkan oleh infeksi kuman yang disebut mycobacterium tuberculosis (M. TB). Biasanya ciri-ciri atau gejala TB pada umumnya, seperti batuk-batuk lama (batuk kering ataupun berdahak) lebih dari dua (2) minggu, batuk darah.

Ciri-ciri lainnya, meliputi nafsu makan turun, berat badan turun, keringat malam, demam atau meriang, lemah. Apabila mengenai organ lain selain paru maka gejala sesuai organ yang terkena seperti kalau terkena kelenjar getah bening maka akan membesar. Nah, apabila hal itu terjadi pada diri seseorang, maka orang tersebut sebaiknya memeriksakan dirinya ke fasilitas pelayanan kesehatan seperti Puskesmas atau Balai Baru atau ke rumah sakit.

Selanjutnya, oleh dokter atau dokter spesialis paru akan dilakukan wawancara, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan yaitu pemeriksaan dahak untuk mencari kuman M.TB. Apabila ada fasilitas foto ronsen maka dilakukan foto ronsen dada. “Apabila ditemukan hasil pemeriksaan dahak positif maka sebaiknya dilakukan pemeriksaan TB pada orang-orang terdekat pasien,” jelas dokter lulusan Program Pendidikan Dokter Spesialis Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Terkait dengan data jumlah pasien TB ini, dokter lulusan Program Doktoral Ilmu Kesehatan, Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, Yogyakarta ini, mengungkapkan berdasarkan TB Global Report 2020 Indonesia adalah negara nomor dua (2 )dengan beban TB terbanyak di dunia, yaitu 8,5% setelah India (26%). Di Indonesia diperkirakan pada tahun 2019 terdapat 845.000 kasus TB. Diantara total kasus TB itu 4 persen merupakan kasus TB pada anak.

Soal bahayanya penyakit TB itu, dokter yang pernah meraih juara satu (1) Oral Presentation PIPKRA – Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI 2019, menuturkan apabila infeksi ini tidak diobati maka akan menyebabkan kerusakan organ yang terkena. Misalnya kalau TB paru tidak diobati maka kerusakan parunya akan semakin meluas. Pengobatan penyakit ini harus tuntas dalam waktu yang ditentukan. Rejimen dan cara pemberian yang kurang benar dapat menyebabkan kekebalan bakteri terhdap obat yang disebut resistensi. “Resistensi obat TB menyebabkan masalah yang lebih berat lagi dan dapat berisiko kematian,” tuturnya.

Dokter yang pernah meraih penghargaan sebagai dosen Idaman 2019 pada Family Gathering Pulmonologi FKUI 2019 lalu itu, memaparkan penyakit TB merupakan salah satu jenis penyakit yang menular. Penyakit ini menular melalui udara (droplet/percik renik/percikan dahak) saat pasien batuk, bersin atau berbicara yang menular ke orang di sekitarnya.

“Untuk itu, kita harus mengetahui cara pencegahan penyakit TB termasuk cara penularannya. Kita wajib waspada karena TB dapat mengenai dari anak-anak, remaja sampai orang tua. Kita harus waspada penyakit TB karena penyakit menular dan dapat menimbulkan risiko kematian bila tidak diobati secara benar. Meskipun dapat menyebabkan kematian penyakit TB dapat di cegah dan disembuhkan,” paparnya.

Meski demikian dokter yang juga pernah meraih Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya X tahun dari Presiden Republik Indonesia, menambahkan penyakit TB dapat disembuhkan apabila berobat secara teratur, tidak putus minum obat dan sampai tuntas. Menurut data saat ini. Sekitar 85% orang yang memiliki penyakit TB dapat berhasil diobati dengan rejimen obat anti TB (OAT) selama enam (6) bulan.

Sedangkan orang yang terkena TB dan sudah dinyatakan sembuh dapat terkena TB lagi, tergantung dari daya tahan tubuh orang tersebut. Yang sudah sembuh dari penyakit TB dapat terkena kembali. Disebut sebagai TB kasus kambuh. Untuk pengobatan TB kasus baru umumnya akan diberikan obat-obatan anti tuberkulosis (OAT). Pengobatan rejimen OAT minimal enam (6) bulan, terbagi atas dua (2) bulan fase intensif (fase awal) yang diberikan empat (4) macam obat, yaitu rifampisin, isoniazid (INH), pirazinamide, etambutol serta dilanjutkan empat (4) bulan fase lanjutan terdiri atas rifampisin dan Isoniazid (INH).

“Obat-obatan ini harus diminum teratur dan tidak boleh putus sampai dokter menyatakan sembuh. Obat anti TB tersedia di fasilitas-fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia. Obat anti TB juga dapat diperoleh secara gratis di Puskesmas-puskesmas terdekat,” tandas penulis buku Penyakit Paru Kerja dan Lingkungan ini. ***AB