Paradox Transmigrasi di Papua, Ancaman Bagi Masyarakat Adat dan Lingkungan

Jakarta, GPriority.co.id – Rencana Transmigrasi Di era Presiden Prabowo Subianto kembali mencuat kali ini lahan kosong di Tanah Papua menjadi target Transmigrasi. Hal ini ditandai dengan dihidupkan kembali Kementrian Transmigrasi menjadi entitas sendiri, setelah sebelumnya tergabung dalam Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal.

Dalam catatan, Di era presiden Soeharto Kementerian pernah berdiri sendiri .Di era Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran, jabatan Menteri Transmigrasi dijabat oleh Muhammad Iftitah Sulaiman Suryanagara, dan Viva Yoga Mauladi sebagai Wakil Menteri Transmigrasi.

Agenda Transmigrasi ke PapuaDalam satu wawancara bersama media nasional lainnya di Jakarta, Menteri Transmigrasi Iftitah menyampaikan bahwa Kementerian Transmigrasi mendapat instruksi dari Presiden Prabowo Subianto untuk melaksanakan program transmigrasi ke wilayah Indonesia Timur, khususnya Papua, dengan tujuan menciptakan pemerataan kesejahteraan di berbagai daerah di Indonesia.

“Agar Papua betul-betul menjadi bagian utuh dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam konteks kesejahteraannya, dalam konteks persatuan nasionalnya, dan dalam konteks lebih besar,” kata Iftitah saat serah terima jabatan Menteri Transmigrasi di Kantor Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi di Jakarta Selatan, Senin (21/10) lalu.

Melihat hal tersebut sejumlah aktivis lingkungan dan pengamat kebudayaan hingga anggota DPR RI mulai angkat bicara soal kesiapan masyarakat adat di tanah Papua dalam menghadapi transmigrasi.Beberapa sikap protes beredar yang menganggap instruksi Presiden Prabowo dinilai sebuah paradox atas realitas masyarakat adat dan ancaman lingkungan di era global.

Anggota DPD RI periode 2024-2029, Agustinus R. Kambuaya, angkat bicara soal Transmigrasi di Tanah Papua.

Ia menyoroti dampak transmigrasi terhadap politik, masa depan masyarakat adat, dan lingkungan di Tanah Papua.

Menurut Agustinus , program transmigrasi yang diarahkan ke wilayah timur Indonesia, khususnya Papua, menimbulkan kekhawatiran besar di kalangan masyarakat dan komunitas adat Papua.

Agustinus menyatakan, walaupun program transmigrasi dianggap mampu mendorong pemerataan ekonomi di daerah-daerah timur, gelombang penolakan terus meningkat.

“Berbagai elemen masyarakat Papua telah menyuarakan keberatan mereka, menilai program transmigrasi sebagai ancaman terhadap identitas, budaya, dan lingkungan hidup mereka,” ungkapnya dikutip, Sabtu (2/11).

Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa kebijakan transmigrasi di Papua tidak selalu berjalan sesuai harapan.

Banyak transmigran yang ditelantarkan, menghadapi akses jalan yang sulit, keterbatasan irigasi, dan minimnya dukungan untuk menjual hasil pertanian. Kondisi ini justru menyebabkan ketidaknyamanan di antara warga transmigran dan penduduk asli Papua, bahkan memperburuk hubungan sosial di antara keduanya.

Sementara, Senator asal Papua Barat, Paul Finsen Mayor, menyoroti masalah ini dalam rapat paripurna DPD RI baru – baru ini, Ia meminta perhatian pemerintah agar isu ini tidak dianggap remeh.

“Isu transmigrasi bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga menyangkut identitas dan hak-hak masyarakat adat,” tegasnya.

Menurutnya, tantangan utama yang dihadapi Papua saat ini adalah kebutuhan akan data yang jelas mengenai jumlah Orang Asli Papua (OAP) sesuai amanat Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua.

Data kependudukan yang akurat sangat penting untuk memastikan anggaran dan kebijakan Otsus sesuai sasaran, namun upaya ini masih terkendala oleh kurangnya data yang terintegrasi dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil), serta Badan Pusat Statistik (BPS).

“Data ini penting untuk menentukan alokasi anggaran yang tepat dan menjaga hak masyarakat asli Papua di tengah meningkatnya gelombang transmigrasi,” kata Finsen.

Di tengah isu transmigrasi, mewakili masyarakat adat, Yaye Blesmargi, pemuda adat dari Sorong Selatan, mengungkapkan keprihatinan mendalam terkait dampak transmigrasi dan proyek besar di Papua yang seringkali mengorbankan hak masyarakat adat.

“Lahan Papua terus dieksploitasi oleh perusahaan besar, tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat adat yang bergantung pada tanah ini,” ungkap Yaye.

Ia juga menyampaikan tuntutannya kepada Presiden Prabowo Subianto untuk membatalkan rencana pendirian Batalyon Infanteri di lima daerah di Papua sebagai bagian dari Program Ketahanan Pangan.

“Kami menolak keterlibatan TNI dalam proyek bisnis yang merusak tanah Papua dan melanggar hak masyarakat adat,” tambahnya.

Transmigrasi di Tanah Papua adalah sebuah paradox . Hal ini muncul dari tujuan program transmigrasi yang awalnya positif, yaitu untuk pemerataan penduduk dan pembangunan ekonomi di daerah yang dianggap masih kurang berkembang.

Namun, di sisi lain dari perjalanan histori, program ini menciptakan berbagai tantangan dan dampak negatif bagi masyarakat adat Papua dan lingkungan yang seringkali bertentangan dengan tujuan utamanya.

Pembangan di Tanah Papua adalah jalan yang harus ditempuh namun sebuah dilema dan Pekerjaan rumah yang perlu dihadapi Pemerintah pusat di era Presiden Prabowo Subianto dalam merancang kebijakan pembangunan yang adil di tengah perbedaan budaya, nilai, dan hak adat yang kuat.

Penulis : Jojie Matitaputty

Foto : istimewa