Tahun baru Hijriyah jatuh setiap tanggal 1 Muharram dalam kalender Islam. Dalam sejarahnya, tahun pertama Hijriyah ditetapkan oleh Umar bin Khattab untuk menandai peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah di tahun 622 sesudah masehi.
Di Indonesia, tahun baru Hijriah disambut meriah dengan ragam tradisi khas daerah masing-masing. Tradisi tersebut tentu saja mengundang pesona masyarakat dan wisatawan untuk menyaksikannya.
- Buleun Asan-Usen (Aceh)
Asen Usen ialah tradisi yang digelar untuk memperingati kematian cucu Nabi Muhammad Hasan dan Husain pada 10 Muharram di Karbala. Masyarakat muslim Aceh biasanya memasak bubur sura atau kanji acura untuk acara Asen usen yang sering diselenggarakan di Meunasah dan dibagikan kepada sesama.
Bubur Kanji sendiri adalah bubur yang dibuat dari campuran beras, santan, gula, irisan kelapa, kacang-kacangan dan buah-buahan seperti pepaya, delima, pisang, tebu serta umbi-umbian.
2. Nganggung (Pangkalpinang)
Nganggung merupakan tradisi gotong royong masyarakat Pangkalpinang dengan membawa makanan lengkap di atas dulang kuningan yang ditutup dengan tudung saji. Tiap pintu rumah (keluarga) membawa satu dulang yang terbuat dari Kuningan, berisi makanan sesuai dengan status dan kemampuan keluarga tersebut.
Tradisi Nganggung sering juga disebut dengan adat Sepintu Sedulang. Tradisi ini biasanya dilakukan pada upacara upacara keagamaan, seperti hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, Mauludan, Nisfu Sya’ban, dan Muharam.
Kegiatan Nganggung biasanya dilakukan di Masjid dan di Kota Pangkalpinang sering dilaksanakan Nganggung Akbar di Rumah Dinas Walikota setelah dilaksanakan pawai Taaruf.
3. Festival Tabot (Bengkulu)
Tabot adalah upacara tradisional masyarakat Bengkulu, yang diadakan untuk mengenang kisah kepahlawanan dan kematian cucu Nabi Muhammad S.A.W, Saidina Hassan bin Ali dan Saidina Hussein bin Ali dalam peperangan dengan pasukan Ubaidillah bin Zaid di padang Karbala, Iraq pada tanggal 10 muharam 61 Hijriah bersamaan (681 Masehi).
Tradisi Tabot dibawa oleh para pekerja Islam yang berasal dari Madras dan Bengali, India bagian selatan, yang dibawa oleh tentara Inggris untuk membangun Benteng Marlborough (1713—1719) di Kota Bengkulu.
Tradisi Tabot ini digelar selama 10 hari berturut turut terdiri dari beberapa rangkaian ritual. Pertama menggambik tanah (mengambil tanah) dari tempat khusus yang di keramatkan atau biasa disebut Gerga.
Kedua, Duduk Penja (mencuci jari-jari), meradai atau mengumpulkan dana yang dilakukan oleh Jola (orang yang bertugas mengambil dana untuk kegiatan kemasyarakatan).Ketiga, Menjara atau berkunjung dengan mendatangi kelompok lain untuk beruji/bertanding dol (alat musik sejenis bedug). Keempat, arak Penja, yaitu penja diletakkan di dalam Tabot dan diarak di jalan-jalan utama Kota Bengkulu. Kelima, mengarak penja ditambah dengan serban (sorban) putih dan diletakkan pada Tabot kecil. Keenam adalah Gam (tenang/berkabung), merupakan tahapan dalam upacara Tabot yang wajib ditaati. Tahap Gam merupakan saat di mana tidak diperbolehkan mengadakan kegiatan apapun.
Tahap ketujuh dilakukan pada tanggal 9 Muharam juga disebut dengan Arak Gendang. Tahap ini dimulai dengan pelepasan Tabot besanding di gerga masing-masing. Tahap terakhir dari keseluruhan rangkaian upacara Tabot disebut dengan Tabot Tebuang yang diadakan pada tanggal 10 Muharam.
Ritual-ritual yang dilakukan dalam Tabot sangatlah menarik, sehingga dalam setiap perayaannya, banyak wisatawan yang berasal dari dalam dan luar negeri hadir.
4.Memborong Perabot (Bugis)
Tradisi berburu alat dapur pada 10 Muharram ini adalah tradisi turun temurun untuk suku Bugis/Makassar. Timbah atau gayung, ember, dan baskom bertujuan untuk mengharap limpahan rezeki.
Tak heran jika di hari tersebut sejumlah pasar tradisonal di Makasar dibanjiri warga untuk berbelanja perkakas atau peralatan dapur sejak pagi.
Umumnya warga membeli perkakas atau peralatan dapur yang bisa tahan lama seperti panci, pisau, ember sesuai kemampuan ekonomi mereka.Warga yang punya kemampuan ekonomi yang cukup akan membeli beragam perkakas dan peralatan dapur, sementara yang mereka yang punya ekonomi lemah cukup berbelanja timba plastik, sipi atau penjepit ikan yang terbuat dari belahan bambu.
5.Barik’an (Pati)
Ketika Muharam tiba, masyarakat di Pati melakukan tradisi Barik’an untuk merayakanya. Barikan merupakan acara kenduri bersama. Biasanya, masyarakat membawa dan mengumpulkan nasi serta lauk pauk dari rumah masing-masing. Setelah dikumpulkan, nasi dan lauk pauk didoakan.
Kemudian, setelah memanjatkan doa, masyarakat langsung menggelar makan bersama. Tidak hanya memakan nasi dan lauk pauk milik sendiri, dalam tradisi itu terjadi saling tukar lauk yang dibawa.
Selain untuk menyambut tahun baru Islam, tradisi Barikan menjadi salah satu cara masyarakat untuk meningkatkan kerukunan antar warga desa.
6.Ngadulag (Sukabumi)
Masyarakat di Sukabumi biasanya merayakan tahun baru Hiriyah dengan mengikuti lomba menabuh beduk atau biasa disebut ngadulag. Peserta lomba biasanya berbentuk kelompok yang terdiri dari tiga orang atau lebih dan memiliki tugas sebagai pemukul beduk, pemukul kentungan dan pemukul alat tambahan lainnya.
Irama yang dimainkan para peserta lomba selalu membuat penonton kagum karena mereka bisa menampilkan sesuatu yang unik.
7.Ledug Suro (Magetan)
Di Kabupaten Magetan, Jawa Timur masyarakat di sana punya tradisi dalam menyambut 1 suro yang disebut Ledug Suro.
Ledug Suro atau atau Lesung Suro Bedhug Muharram merupakan ritual Ngalub Berkah Bolu Rahayu yang dipercaya dapat membawa rejeki.
Kegiatan Ledug Suro ini dilaksanakan selama satu minggu sebelum tahun baru Jawa dan Tahun Baru Islam, dengan diisi dengan berbagai kegiatan seperti lomba Lesung Bedhug yang diikuti oleh tiap-tiap kecamatan dan dinas / instansi serta kegiatan lain seperti pasar Suro, dan berbagai hiburan rakyat seperti tari tradisional jalak lawu, drumband, wayang kulit, Reog dan lain-lain.
Dalam prosesi Ledug Suro, diakhiri dengan kirap atau membawa roti bolu dalam bentuk lesung dan bedhug di tengah kota Magetan. Acara Ledug Suro dilakukan sebagai ucapan syukur kepada Allah atas berkah dan rejeki yang telah diberikan kepada rakyat Magetan.
Warga Magetan sendiri selalu antusias dalam mengikuti perayaan menyambut tahun baru Islam ini. Bahkan warga saling berebut bolu rahayu yang dipercaya mendatangkan berkah bagi kehidupan. Warga terlihat berdesak-desakan berusaha mendapatkan bolu rahayu meski yang tersisa hanya remah-remahnya
8.Mubeng Beteng (Yogyakarta)
Mubeng Beteng atau diam membisu mengelilingi benteng Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah upacara yang dilakukan masyarakat Yogyakarta untuk memperingati 1 muharam atau lebih dikenal sebagai 1 suro.
Acara Ritual tahunan itu diawali dengan pembacaan tembang macapat dan doa yang dipimpin oleh abdi dalem keraton, KRT Projo Suwasono.
Selanjutnya, tepat pukul 00.00 WIB ribuan warga, baik penduduk asli Yogyakarta maupun pendatang, beserta abdi dalem mulai menjalankan ritual budaya itu setelah dilepas oleh Putri pertama Sultan H.B. X, Gusti Kanjeng Ratu (G.K.R.) Mangkubumi. Mereka menyusuri jalan tanpa berbicara mengelilingi seluruh benteng keraton yang berjarak 5 kilometer.
Ritual itu dimulai dari Keben Keraton menuju Jalan Retowijayan, Jalan Kauman, Jalan Agus Salim, Jalan Wahid Hasyim, hingga Pojok Beteng Kulon, Jalan Mayjen M.T. Haryono samapai Pojok Benteng Wetan, Jalan Brigjen Katamso, Jalan Ibu Ruswo, Alun-Alun Utara, dan berakhir di Keben Keraton.
- Ngumbah Keris (Jawa)
Salah satu tradisi masyarakat Jawa dalam menyambut tahun baru islam adalah ngumbah (mencuci) keris. Kegiatan ini hanya dapat dilakukan di bulan-bulan suci yang dianggap sakral. Dimana pada bulan Suro (Muharam) ini dianggap bulan keramat yang dapat menambahkan kekuatan ghaib keris.
Sebelum mencuci pusaka, harus melakukan puasa pati geni dalam ruang tertutup satu hari satu malam.
Kemudian sebelum malam 1 Suro, dilakukan perendaman pusaka menggunakan bahan-bahan khusus untuk menghilangkan karat. Juga untuk menjaga pamor (corak) keris agar kembali muncul.
10.Kirab Kebo Bule (Surakarta)
Di Surakarta, perayaan Tahun Baru Islam disambut dengan adanya Kirab Malam Satu Suro yang digelar Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Dalam tradisi ini, beberapa ekor Kebo Bule (Kerbau berwarna putih) diarak keliling kota. Kerbau-Kerbau yang dianggap sebagai turunan Kyai Slamet ini berperan sebagai pemandu kirab dan diikuti oleh para kerabat keraton yang membawa pusaka.
Kirab ini biasanya digelar tengah malam dan pastinya masyarakat di Surakarta sudah berkumpul untuk mengikuti kirab tersebut.
Yang membuat tradisi ini menjadi unik adalah momen masyarakat bisa menyentuh kebo bule dan berebutan untuk mendapatkan kotorannya. Sebab kotoran dan tubuh kebo bule diyakini oleh mereka bisa membawa berkah.(Hs)