”Ya, kalau saya gak keluar ya saya gak dapet penghasilan, sedangkan dana dari pemerintahan aja gak dibagi secara merata,” kata Toyib (53), seorang tukang bubur, warga Karanggan, Gunung Putri, Bogor.
Selepas magrib, Kamis (19/5), Toyib (53) berangkat ke pasar untuk membeli bahan baku untuk dagangannya, seperti ayam, beras, dan lain-lain. ia mulai mengolah pada pukul 3 pagi, dibantu oleh Ida, istrinya. Toyib hanya membuat sekitar 2-3 liter beras karena berkurangnya pelanggan di masa pandemi.
Kondisi pandemi yang semakin kritis ini membuat semua para buruh dan pedagang menjadi terhambat, salah satunya yaitu Toyib. Ia merupakan salah satu pedagang bubur yang dituntut harus selalu berdagang, untuk menghidupi keluarganya.
Kepala keluarga memang seharusnya lebih siap menanggung beban keluarga, terutama masalah ekonomi. Pada masa pandemi ini, tentu perekonomian terguncang, itulah yang dirasakan Toyib. Ia harus menghidupi istri dan 1 anaknya yang berusia 4 tahun, ia juga harus membayar kebutuhan hidupnya seperti sewa kontrakan, bahan baku untuk berjualan, dan lain-lain.
Sama seperti biasanya, Toyib melayani pelanggan dengan membuatkan bubur, yang berbeda hanya ia melayaninya dengan menggunakan masker, begitu pula dengan pelanggannya yang turut menggunakan masker.
Ia sudah mulai berjualan bubur kurang lebih 15 tahun, dengan cara berkeliling di sekitar rumahnya di Karanggan, Gunung Putri dari mulai pukul 06.00-10.00. Tapi, ketika masa pandemi ini, waktu untuk berjualan pun agak sedikit panjang karena banyak pelanggan yang lebih memilih tidak keluar rumah. Ketika ia tidak berjualan, pada hari itu juga ia tidak mendapat penghasilan. Karena, sumber keuangan keluarganya tersebut ada di usaha bubur ayam tersebut.
“Ya, kalau saya gak keluar ya saya gak dapet penghasilan, sedangkan dana dari pemerintahan aja gak dibagi secara merata, kalau kita gak ada simpenan ya kita gak bisa makan,” kata Toyib.
Dana yang digadang-gadang oleh pemerintah nyatanya tidak tepat sasaran, justru orang-orang yang masih berpenghasilan atau bahkan keluarga yang sudah mendapatkan bantuan dari pemerintah mendapat bantuan. Sedangkan, keluarga yang tidak punya penghasilan ketika ia tidak berjualan, malah tidak dapat. Dengan tidak adanya bantuan tersebut, membuat Toyib harus berusaha lebih keras untuk mencukupi kebutuhan keluarganya dengan memberanikan diri untuk tetap berjualan, walaupun ketika berjualan ada rasa takut tertular oleh covid-19. Hal itu yang akhirnya membuat Toyib harus berjualan bubur ditengah pandemi ini. Tidak mudah memang untuk berjualan, ketika (PSBB) diterapkan.
Ketika dagangan mulai terhambat, penghasilan pun ikut terhambat pula. Penurunan penghasilan itu sangat dirasakan oleh keluarganya. Toyib merasakan dampak yang begitu luar biasa.
“Biasanya sebelum ada covid ini bikin bubur itu bisa sampe 5 liter, tapi sekarang cuma bisa bikin bubur 2 liter aja. tapi alhamdulillah nya dagangannya tetep abis, walaupun bikin buburnya cuma 2 liter aja, biasanya 5 liter juga jam 10 udah abis,” ujar Ida.
Penghasilan yang ia dapat harus dipilah untuk kebutuhan keluarga dan untuk modal dagang esok hari. Permasalahan yang terjadi padanya bukan hanya soal pembeli yang berkurang, melainkan banyaknya cibiran yang dialamatkan kepadanya karena ia tetap berjualan di masa pandemi.
“‘Masih jualan aja, Mang? kenapa masih jualan mang? Ini kan lagi pandemi,’ Biasanya yang bilang kayak gitu orang-orang yang baru beli. Kalau orang yang udah kenal mah gak bakal bilang kayak gitu,” kata sang istri.
Sasaran penjualan Toyib adalah orang-orang pekerja di pabrik atau perusahaan, tapi sekarang sudah tidak ditemukan lagi karena banyaknya pabrik atau perusahaan yang mem-PHK karyawan-karyawannya. Efeknya adalah para pelanggan yang biasanya membeli sarapan, sekarang sudah jarang, karena mereka kebanyakan dari mereka sudah di PHK. Itulah yang membuat akhirnya Toyib harus berkeliling supaya dagangannya habis terjual.
“Kalau sekarang, yang biasanya kita cuma mangkal aja pelanggan pada dateng, sekarang mah kita harus keliling buat cari orang yang mau beli bubur, kalau gak kaya gitu, kita gak laku. Belum lagi jalan-jalan juga dibatasin,” kata Toyib.
Namun, jika hanya berdiam diri di rumah, itu pun hanya menambah beban pikiran saja. Sebenarnya, ia tidak ingin melanggar aturan pemerintah, tetapi dana dari pemerintah pun tidak ia dapatkan, tidak ada pilihan lain selain tetap berjualan bubur ayam di masa pandemi ini.
“Mungkin kalau libur ya satu hari sebelum lebaran, selebihnya ya, akan tetap terus berjualan,” kata sang istri sambil menatap lurus ke depan dengan nada yang penuh harap. ( Aiga Liani,Mahasiswi Sastra Indonesia FISIB Universitas Pakuan