Desa Matano Punya Danau Terdalam Hingga Peninggalan Zaman Besi

Jakarta, GPriority.co.id – Desa Wisata Matano ditetapkan sebagai salah satu Top 50 Anugera Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2022 oleh Kemenparekraf. Penetapan ini tidak terlepas dari pesona alam Desa Matano yang eksotis dan memiliki sejarah ratusan ribu tahun.

Desa Matano terletak di Kecamatan Nuha, Luwu Timur, Sulawesi Selatan dengan waktu tempuh  sekitar 60 menit perjalanan darat dari Ibukota Kabupaten Luwu Timur, ditambah 60 menit perjalanan air menyeberangi Danau Matano dengan menggunakan perahu. 

Desa yang terdiri dari empat dusun, yakni Matano, Landangi, Kayu Tanduk, dan Bone Pute, dihuni oleh sekitar 1.517 jiwa dan sangat potensial untuk dikembangkan menjadi penunjang sektor pariwisata di Kabupaten Luwu Timur.

Desa Matano memiliki bentang alam yang khas, keunikan budaya, dan peninggalan arkeologi sebagai wilayah yang telah menciptakan peradaban pandai besi sejak ratusan ribu tahun yang lalu. Bahkan, menurut para arkeolog, Situs Danau Matano dan daerah di sekitarnya merupakan pusat pandai besi tertua di Indonesia.

Danau ini tidak hanya menjadi tempat yang menyimpan kisah sejarah peradaban masyarakat Sulawesi, khususnya Luwu Timur, namun Danau Matano juga menawarkan pemandangan yang eksotis dengan air yang jernih dan pegunungan hijau di sekitarnya.

Danau ini diperkirakan terbentuk akibat pergerakan patahan bumi pada 1-4 juta tahun yang lalu dan memiliki kedalaman sekitar 600 meter. Menjadikan Danau Matano sebagai danau paling dalam di Asia Tenggara.

Keunikan lainnya dari desa wisata ini adalah terdapat kolam yang dapat mengeluarkan buih saat wisatawan meneriakkan kata bura-bura di pinggir kolam. Oleh masyarakat setempat, kolam ini dikenal dengan sebutan Kolam Bura-Bura. Air kolam bura-bura berasal dari mata air di tepi Danau Matano.

Karena letaknya yang berada di pinggir Danau Matano, maka tidak heran jika sebagian besar aktivitas pariwisata di desa ini dilakukan di air. Misalnya berkayak selama satu jam mengitari Danau Matano.

Pengunjung nantinya dapat memilih tempat untuk berkayak, seperti di depan homestay Rumah Putih, Dermaga Morina Matano atau di depan Laawa River Park atau di Situs Pulau Ampat.

Harga yang ditawarkan juga sangat terjangkau, cukup membayar Rp 50 ribu pengunjung sudah bisa berkayak lengkap dengan fasilitasnya berupa kayak, helm, dan pelampung.

Tidak jauh dari situ, terdapat Sungai Laawaa atau Kalidingin yang menyediakan alur sungai yang berbatu di hulu dan semakin tenang di hilir. Hilir Sungai Laawaa sendiri adalah Danau Matano.

Di sini pengunjung bisa melakukan body rafting selama 2 jam dengan biaya sewa Rp 50 ribu. Fasilitas yang diberikan berupa 6unit bank, jaket pelampung serta helm. Selain body rafting, pengunjung juga bisa berkano di Laawaa.

Biayanya pun sama, yakni hanya Rp 50 ribu. Dengan durasi 1 jam, wisatawan sudah bisa mendapat perahu kayuh, jaket pelampung dan helm pengaman untuk menjelajah di tepi Danau Matano. Jika hanya ingin menggunakan kano untuk kepentingan foto, pengunjung bisa membawanya ke Sungai Laawaa,

Sementara itu, jika datang ke Pulau Ampat wisatwan bisa melihat kembali sejarah peradaban pandai besi tertua di Indonesia. Pulau Ampat merupakan situs peninggalan peradaban Kampung Pandai Besi Matano.

Tidak heran jika nama Pulau Sulawesi memiliki arti “Pulau Besi”, karena di pulau ini sudah sejak lama dikenal sebagi penghasil produksi besi berkualitas. Bahkan pada naskah Negarakertagama, disebutkan Kabupaten Luwu merupakan penghasil besi berkualitas tinggi yang diekspor ke Jawa.

Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) dari 2016 hingga sekarang, mengonfirmasi bahwa terdapat bukti sumber utama dari Pamor Luwu adalah bijih peleburan di sekitar Danau Matano.

Jika menyelam di daerah Situs Pulau Ampat pada kedalaman 4-16 meter, wisatawan dapat menemukan sisa-sisa benda peninggalan masa lalu dari Kampung Pandai Besi yang tenggelam akibat gempa bumi. Seperti berbagai artefak kerajinan besi, tembikar, dan peralatan rumah tangga.

Wisatawan juga bisa mendatangi Galeri Gamara untuk melihat berbagi koleksi artefak perhiasan dan kerajinan besi dari masyarakat Matano kuno. Namun, jika ingin melihat dan belajar langsung cara menempa besi, desa Matano juga memiliki tradisi Molabu atau proses penempaan besi yang sudah dijalankan sejak abad ke-10 masehi.

Untuk memudahkan wisatawan yang datang ke Desa Matano, tempat ini menyediakan homestay, akses jaringan internet yang baik, dan berbagai pusat souvenir yang menjual umpeo, puci-puci, sampai konao yang terbuat dari daun enau. (Vn)