Selain kelahiran, suka cita terbesar bagi manusia adalah perhelatan pernikahan. Tak terkecuali masyarakat Tionghoa di Pulau Bangka. Pernikahan menutup suatu masa tertentu dalam kehidupan manusia, seperti masa bujang dan dayang, masa ketika hidup tanpa beban keluarga yang sebenarnya. Masyarakat Tionghoa menganggap seseorang baru menjadi dewasa, setelah menjadi orang pada saat dia menikah.
Pernikahan merupakan suatu hal yang sangat sakral. Upacara pernikahan dilakukan berdasarkan agama atau kepercayaan yang bersangkutan. Dalam menjalani sebuah pernikahan, diperlukan berbagai persiapan. Di Bangka sendiri, masyarakat Tionghoa memiliki banyak tradisi dalam pernikahan. Mulai dari sangjit sampai dengan perayaan hari ketiga setelah menikah. Salah satu hal yang menarik dari tradisi pernikahan masyarakat Tionghoa di Bangka adalah adanya tradisi kembang rampe.
Tradisi kembang rampe merupakan salah satu syarat dalam pernikahan masyarakat Tionghoa di Bangka. Kembang rampe terbuat dari daun pandan, bunga kenanga dan bunga mawar, yang selanjutnya di teteskan dengan sebuah parfum. Cara membuatnya cukup sederhana. Pandan dipotong halus-halus, sedangkan untuk bunga, kelopaknya dilepas satu-satu. Selanjutnya pandan dan bunga dicampur dan diteteskan perfum untuk menambah aroma wangi dari kembang rampe tersebut. Biasanya kembang rampe diletakkan di dalam kamar pengantin.
Tradisi kembang rampe mempunyai makna khusus. Berbagai penafsiran pun hadir dimasyarakat. Konon katanya, kembang rampe tersebut harus dihabiskan oleh setiap tamu undangan, agar pasangan yang menikah bisa langgeng. Ada pula yang mengatakan tamu yang mengambil kembang rampe dan disimpan di dalam dompet, jika dia seorang laki-laki atau perempuan yang masih lajang, maka akan segera menikah.
Seiring perkembangan zaman, terkadang tradisi kembang rampe tidak digunakan lagi. Namun, masih ada yang menggunakan tradisi kembang rampe untuk melestarikan warisan budaya lokal masyarakat Tionghoa di Pulau Bangka. (VIA)