
Penulis : Ponco | Editor : Lina F | Foto : KemenPPPA
Jakarta, GPriority.co.id – Jelang dua dekade hadirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) dianggap masih belum optimal. Pernyataan tersebut disampaikan Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga Rentan, Eni Widiyanti dalam acara Kampanye Jelang Dua Dekade Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bersama dengan Perkumpulan Jalastoria Indonesia (JalaStoria).
Eni Widiyanti dalam sambutannya secara virtual mengatakan, rangkaian kampanye tersebut merupakan langkah kolaboratif dan strategis antara Kemen PPPA dan JalaStoria dalam menyosialisasikan dan membangun literasi masyarakat Indonesia terkait pencegahan dan penanganan KDRT melalui UU PKDRT.
“Bulan September 2023 ini, UU PKDRT genap berusia 19 tahun. Selama 19 tahun kehadiran UU PKDRT dalam memberikan jaminan perlindungan bagi korban KDRT masih dianggap belum sepenuhnya optimal karena masih banyak berulangnya kejadian dan kasus KDRT, dimana dominasi korbannya adalah perempuan,” ujar Eni di acara Kick Off Meeting secara virtual (4/9).
Lebih jauh Eni menjelaskan, berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) Tahun 2021 menunjukkan bahwa 1 dari 4 perempuan usia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik atau kekerasan seksual. Sedangkan hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) Tahun 2021 bahwa 4 dari 10 anak perempuan dan 3 dari 10 anak laki-laki pernah mengalami salah satu bentuk kekerasan sepanjang hidupnya, baik itu kekerasan fisik, seksual ataupun kekerasan emosional.
Selanjutnya, melansir data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPPA), data pelaporan kasus kekerasan yang terjadi sepanjang 2022 hingga Juni 2023 tercatat sebanyak 15.921 kasus. Untuk kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan berjumlah korban 16.275 orang. Sedangkan untuk kasus kekerasan terhadap anak sebanyak 23.363 kasus dengan jumlah korban 25.802 orang. Sementara itu, pada Januari sampai Juni 2023 berdasarkan tempat kejadian, kasus kekerasan yang paling banyak dialami adalah dalam rumah tangga (KDRT) sebesar 48,04% atau 7.649 kasus.
“Berkaca dari berbagai data tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa data tersebut merupakan data terlapor. Padahal dalam kenyataannya, kasus KDRT ini merupakan fenomena gunung es. Seringkali kejadian tidak dilaporkan sehingga jumlah angka tepatnya kasus KDRT tidak dapat dipetakan. Karena itu, kampanye ini menjadi penting untuk diselenggarakan agar masyarakat Indonesia tak hanya mengetahui upaya pencegahan dan penanganan KDRT semata, namun juga kehadiran nyata payung hukum UU PKDRT yang memberikan jaminan perlindungan bagi korban,” tutur Eni.
Dalam kesempatan yang sama, Pendiri JalaStoria yang juga merupakan Ketua Dewan Pers Periode 2022-2025, Ninik Rahayu mengatakan, kehadiran UU PKDRT yang hampir dua dekade lamanya merupakan harapan dari masyarakat Indonesia terutama para korban KDRT yang menginginkan UU PKDRT menjadi salah satu jalan memperoleh keadilan dan perlindungan. Namun dalam perjalanan penegakkan hukumnya, UU PKDRT kerap menghadapi berbagai macam tantangan dan hambatan.
“Salah satu tantangan dan hambatan terbesar yang dihadapi dalam proses penegakkan hukum UU PKDRT ini adalah perspektif. Banyak korban, khususnya perempuan yang sulit memposisikan dan mengkondisikan dirinya mengalami KDRT. Apalagi KDRT ini berkaitan erat dengan norma agama, budaya, sosial, dan finansial yang begitu kompleks sehingga KDRT dianggap sebagai kasus yang terjadi di ruang pribadi dan sukar untuk diungkapkan di muka umum,” pungkas Ninik.