Takut ‘laleo’ Suku Korowai Bangun Rumah Tinggi di Pohon

Jakarta, GPriority.co.id – Mungkin sebagian dari kalian sudah tahu tentang suku korowai, suku asli Papua yang mendiami wilayah adat Anim-Ha, wilayah Papua bagian selatan. Suku yang terkenal tinggal di pohon, tetapi apakah kalian tahu apa alasan utama suku korowai memilih tinggal di pohon atau membangun rumah di pohon-pohon tinggi?

Dari penulusaran beberapa sumber fakta, suku korowai memilih tinggal atau membangun rumah di pohon tinggi agar terhindari dari ancaman pemburu kepala, binatang buas, dan tidak terjangkau oleh nyamuk yang dianggap sebagai serangan sihir.

Namun alasan paling utama suku korowai membangun sebuah rumah pohon yang sangat tinggi adalah karena ketakutan suku Korowai terhadap serangan ‘laleo’ atau iblis yang kejam. Makhluk yang berjalan seperti mayat hidup yang berkeliaran pada malam hari, mencari kerabat mereka.

Proses Pembanguna Rumah Pohon Suku Korowai

Dikutip dari sebuah sumber, satu rumah pohon atau rumah xaim dapat diselesaikan dalam kurun waktu dua hingga tujuh hari, dengan memanfaatkan sumber daya alam di sekitarnya yaitu kulit pohon, ilalang, daun sagu, pelepah sagu, rotan, akar, dan ranting pohon. Beragam jenis pohon yang digunakan untuk membangun sebuah rumah pohon.

Suku Korowai tidak memanfaatkan jenis kayu tertentu, namun biasanya pohon berdiameter minimal satu meter menjadi pusat penyangga rumah pohon.

Design rumah pohon yang lebih besar memiliki penyekat ruang dan pintu masuk berbentuk runcing di kedua ujungnya, satu pintu untuk pria dan lainnya untuk wanita. Perapian dari tanah liat digantungkan di atas ruang terbuka sehingga mudah dipotong dan dijatuhkan jika bara api tidak terkendali. Rata-rata rumah pohon berukuran sekitar tujuh kali sepuluh meter. Tulang sisa makanan ditempatkan di bawah atap. Seringkali rumah dibagi dengan dinding penyekat untuk memisahkan jenis kelamin serta menghindari pandangan dan kontak dengan kerabat tertentu.

Asal Mula Suku Korowai Ditemukan

Hampir 50 tahun suku ini berinteraksi dengan dunia luar. Pada tahun 1975 – 1978, tim misionaris dari Belanda yang dipimpin oleh Johannes Veldhuizen menemukan suku ini, kemudian mulai mengadakan penginjilan di daerah tersebut.

Sejak saat itu, para misionaris menjelajahi seluruh tanah Suku Korowai dan bahkan mempromosikan suku ini hingga ke luar negeri. Mereka bahkan membangun gereja, sekolah serta sebuah klinik. Mereka juga yang memprakarsai film dokumenter tentang salah satu Suku Papua ini dan pada akhirnya pemerintah Indonesia menyadari keberadaan Suku Korowai.

Pada tahun 1990, ketika para misionaris meninggalkan suku tersebut, masyarakat Korowai mulai menerima bantuan dari pemerintah dan terlibat dari proyek-proyek kehutanan yang diprakarsai oleh perusahaan asing.

Suku Korowai memiliki kebiasaan hidup yang berpindah-pindah dari pohon ke pohon dan mereka berbicara menggunakan struktur klausal bahasa yang berbeda pada umumnya, orang Korowai menggunakan struktur klausal Subyek-Obyek-Predikat (SOP).

Selain itu mereka percaya bahwa kematian tidak datang dari penyakit atau takdir melainkan datang dari penyihir. Kepercayaan tersebut membuat suku Korowai terkenal dengan kanibalisme yang sering digunakan untuk memakan seseorang karena dianggap sebagai khakhua.

Menurut orang Korowai, memakan khakhua adalah sistem keadilan terbaik.

foto : GNFI