Jakarta,gpriority.co.id – Kesenian masyarakat Jawa Timur khususnya Kabupaten Ponorogo melahirkan sebuah pertunjukkan atau persembahan yang diberi nama Reog Ponorogo.
Dalam beberapa pekan terakhir, nama kesenian ini kembali mencuat ke media lantaran aksi klaim dari Malaysia yang berencana untuk mendaftarkan kesenian Reog Ponorogo ke UNESCO. Namun, Reog Ponorogo telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia pada tahun 2013.
Menurut laporan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Indonesia telah mengusulkan kesenian Reog Ponorogo ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda UNESCO. Berkas pengusulan dan kelengkapan telah diajukan ke Sekretariat ICH UNESCO.
Sejarah Reog Ponorogo
Kesenian ini bermula dari zaman Kerajaan Bantarangin yang saat ini diketahui sebagai Kabupaten Ponorogo. Pada awalnya, Raja Kelana Swandana berniat pergi ke Kerajaan Kediri untuk melamar Dewi Ragil Kuning (Putri Sanggalangit). Raja Kelana kemudian dikawal oleh wakilnya yang bernama Patih Pujangga Anom atau Warok.
Warok merupakan pengawal raja yang memiliki kekuatan ilmu hitam. Warok selalu mengenakan setelan pakaian luar hitam dan kaos dalam bergaris. Para warok biasanya membawa senjata berupa pecut atau cemeti.
Ketika dalam perjalanan, rombongan Raja Kelana dihadang oleh pasukan Raja Kediri yang terdiri dari burung merak dan singa, kemudian keduanya terlibat pertarungan hebat. Raja Kelana dengan Warok dan Singa Barong dengan burung merak dan singanya saling beradu ilmu hitam.
Menyadari kekuatan mereka seimbang, keduanya kemudian bersepakat untuk berdamai dan Raja Kediri menerima lamaran Raja Kelana. Saat acara pernikahan, pasukan merak dan singa dan pasukan warok melakukan atraksi untuk para penonton. Mereka memperagakan pertarungan sebelumnya, yang kini dijadikan sebuah pertunjukan dengan nama Reog Ponorogo.
Selain dalam hal pertunjukan dan hiburan, kesenian Reog Ponorogo memiliki berbagai tujuan lain seperti sebuah ritual atau persembahan. Ritual diadakan sebelum pementasan untuk menghindari berbagai halangan dan ketika pementasan sedang terjadi, sesaji diberikan sebagai persembahan terhadap keberadaan roh yang dipercaya masyarakat Ponorogo sebagai penunggu barongan. (Hn.)