Banda Aceh, Gpriority.co.id – Pemerintah Provinsi Aceh mengajak semua pihak, baik itu instansi terkait atau kelompok masyarakat maupun lembaga-lembaga penggerak kesehatan di Aceh agar berperan dalam menurunkan kasus Stunting di bumi Rencong saat ini.
Provinsi Aceh menjadi satu dari tujuh daerah dengan kasus stunting tinggi di Indonesia. Ada 13 daerah di Aceh yang masuk kategori merah untuk kasus stunting.
Dan jika dirunut menurut 34 provinsi, Aceh merupakan salah satu daerah dengan kasus stunting tertinggi di Indonesia.
Berdasarkan Data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, 13 kabupaten/kota di Aceh masuk dalam kategori merah karena memiliki prevalensi stunting di atas kisaran 30 persen.
Daerah berstatus merah antara lain Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Jaya, Aceh Barat Daya, Nagan Raya, Aceh Besar, serta Aceh Tamiang.
Meskipun demikian, pemerintah Aceh mengklaim bahwa angka penurunan prevalensi stunting di Aceh tercatat turun secara signifikan hingga Desember 2021. Data dari Kementerian Kesehatan dalam Studi Status Gizi Indonesia (SGGI) yang diumumkan Desember 2021, mencatat angka prevalensi stunting di Indonesia turun menjadi 24,4 persen, sementara untuk Aceh turun menjadi 33,2 persen.
Data tersebut menunjukkan keberhasilan penurunan, dimana berdasarkan riset Kesehatan Dasar tahun 2018 menyebutkan, angka prevalensi stunting di Indonesia mencapai 30,8 persen, dan di Aceh tercatat 37,9 persen. Dengan kata lain terjadi penurunan angka prevalensi sebesar 4,7 persen.
Hal itu disampaikan Gubernur Aceh Nova Iriansyah saat memberikan sambutan pada acara peringatan Hari Gizi Nasional ke-62 yang mengusung tema Aksi Bersama untuk Turunkan Stunting dan Obesitas di Aceh, pada akhir Januari 2022 lalu.
Acara yang berlangsung secara virtual itu diikuti Gubernur dari Rumah Dinas di Banda Aceh dengan didampingi Kepala Dinas Kesehatan Aceh dr. Hanif dan Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Aceh, Nevi Ariyani.
Nova menjelaskan, sejak keluarnya hasil riset Kesehatan Dasar tahun 2018 yang menyebutkan angka prevalensi stunting di Indonesia mencapai 30,8 persen dan di Aceh tercatat 37,9 persen, Pemerintah Indonesia mulai mencanangkan aksi bersama yang disebut
“Gerakan Nasional Pencegahan Stunting”. Gerakan itu diluncurkan Presiden Joko Widodo pertengahan 2018 di Jakarta.
Oleh karenanya, untuk terus menekan kasus stunting di Aceh, pemerintah Aceh mengajak semua pihak untuk bersama-sama ikut berkontribusi dalam upaya menurunkan angka stunting di Aceh.
Dalam Rapat Koordinasi Percepatan penurunan stunting di Aceh, yang di laksanakan di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Aceh, pada Jumat 30 September 2022 lalu, Asisten II Sekda Aceh, Mawardi mengajak semua pihak ikut mendukung program pemerintah dalam penurunan kasus Stunting.
Menurutnya, untuk menurunkan angka stunting diperlukan sebuah tindakan sinergi, serius dan masif dari semua elemen dan sektor, serupa dengan yang dilakukan dalam menanggulangi wabah Covid-19.
“Kita tidak bahas barang baru lagi (stunting), hanya saja kita hendak memperkuat dan mengoptimalkan kembali aksi langkah kolektif kita dalam penurunan angka stunting di Aceh,” kata Mawardi dalam rapat beberapa waktu lalu.
Hanya saja, sebut Mawardi, diperlukan penguatan langkah-langkah dalam aksi penurunan angka stunting ini, mulai dari penguatan gampong atau desa guna memastikan dana desa dialokasikan untuk urusan stunting yang dibarengi dengan menggerakkan para kader PKK secara berjenjang.
Kemudian, kata Mawardi, tenaga kesehatan (Nakes) mulai dari Bidan Desa rutin memantau dan melakukan intervensi terhadap 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) sesuai program kesehatan.
Memastikan dukungan kegiatan dan anggaran APBA dan APBK, serta diperlukan keterlibatan stakeholder sesuai fungsi dan kewenangan.
Selain itu, ia juga menyebutkan, tugas utama dalam upaya mengeliminasi stunting, pemerintah telah membentuk Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) yang memiliki tugas pokok di mulai dari TPPS tingkat provinsi, kemudian tingkat kabupaten/kota, kecamatan hingga tinggal paling rendah gampong.
Sementara itu, Kepala Kanwil Bea Cukai Aceh, Safuadi mengatakan, permasalahan stunting berkorelasi dengan masalah kemiskinan, karenanya saat ini sebagai lembaga vertikal atau perwakilan kementerian di daerah selaku inisiator ikut mengupayakan agar Aceh bisa keluar dari kemiskinan.
“Tim pengendalian inflasi sudah terbentuk dan sudah intervensi di mana kami akan melaporkan perkembangannya setiap minggu kepada ketua. Jadi harapan kami hal sama juga bisa kita lakukan di penanganan stunting,” ujarnya.
Terpisah, Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Aceh, dr Sulasmi menyebut, Stunting merupakan ancaman utama terhadap kualitas manusia Indonesia, juga ancaman terhadap kemampuan daya saing bangsa.
Stunting yang merupakan masalah kurang gizi kronis ini disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama, sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak.
Anak yang mengalami gizi kronis ditandai dengan tinggi badan yang lebih rendah atau pendek (kerdil) dari standar usianya. Indonesia menempati urutan kedua di Asia Tenggara dan keempat dunia dengan beban anak yang mengalami stunting.
“Prevalensi anak stunting di Aceh jauh di atas rata-rata nasional,” ujar Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Aceh, dr Sulasmi baru-baru ini.
Dari data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, Aceh menempati posisi ketiga tertinggi setelah Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Sulawesi Barat di posisi pertama dan kedua.
“Di Indonesia prevalensi stunting itu berada di 24,4 persen. Jadi kita jauh dari rata-rata nasional,” ucapnya.
Kabupaten Gayo Lues menjadi daerah prevalensi stunting tertinggi, 42,9 persen, disusul Kota Subulussalam 41,8 persen. Sementara Kota Banda Aceh (23,4%) dan Kota Sabang (23,8%) menjadi daerah dengan prevalensi terendah.
Dokter Sulasmi menyebut, ini merupakan tantangan besar bagi Aceh untuk menurunkan prevalensi stunting dan tentunya harus dilakukan dari lintas sektor.
Lebih lanjut dia mengatakan, ada dua intervensi yang dilakukan untuk menurunkan prevalensi stunting, yakni intervensi sensitif dan intervensi spesifi k. Dinas Kesehatan sambungnya, hanya bisa melakukan dari segi intervensi spesifi k dan hanya mampu mendongkrak 30 persen untuk menekan prevalensi anak stunting.
“Kalau intervensi sensitif itu dilakukan di luar sektor kesehatan, seperti sektor pertanian, pendidikan, keluarga berencana, PUPR, perekonomian, dan lain-lain,” kata dr Sulasmi.
Sehingga, lanjut Kabid Kesmas Dinkes Aceh itu, jika ini kerja sama lintas sektor ini bisa terjalin dengan baik, dia sangat yakin intervensi sensitif ini dapat menekan angka hingga 70 persen.
POLA ASUH JADI TANTANGAN TERBESAR di ACEH
Direktur Rumah Sakit Pendidikan Universitas Syiah Kuala (RSP USK) Banda Aceh, dr. Iflan Nauval M. ScIH, Sp. GK (K) menyebutkan, salah satu faktor penyebab tingginya angka Stunting di Aceh adalah kekurangan gizi yang terjadi dari sejak bayi dalam kandungan hingga pada masa awal setelah bayi lahir. Namun kondisi stunting baru kelihatan setelah bayi berusia 2 tahun. Pada periode inilah sebenarnya penting dilakukan pencegahan, karena stunting sebenarnya dapat disembuhkan.
“Artinya, mulai usia 4 bulan hingga 6 bulan, apabila ditemukan anak yang mengalami stunting, maka akan dilakukan upaya pengobatan agar stunting tersebut dapat terobati,” kata Direktur Rumah Sakit Pendidikan Universitas Syiah Kuala (RSP USK) Banda Aceh, dr. Iflan Nauval M. ScIH, Sp. GK (K).
Pengobatan, kata Iflan, tidak harus dari obat-obatan, tetapi bisa dalam bentuk pemahaman tentang pola asuh kepada orang tuanya. Kemudian pemilihan makanan yang baik seperti MPASI (makanan pendamping ASI) sehingga dapat membuat si anak tumbuh dengan optimal.
Menurut Iflan, tantangan terbesar dalam hal penanganan stunting di Aceh adalah pola asuh. Dimana banyak yang ditemui di lapangan bahwa pola asuh pemberian makanan kepada bayi masih tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang disarankan oleh World Health Organization (WHO) dan United Nations Children’s Fund (UNICEF).
“Jadi masih banyak diberikan susu formula di bawah usia 6 bulan, yang sebenarnya di bawah 6 bulan ini harusnya itu diberikan ASI ekslusif. Kalaupun harus diberikan susu formula, itu harus sepengetahuan dan seizin dokter anak yang merawat,” sebut Dosen Fakultas Kedokteran USK ini.
Selanjutnya, makanan pendamping ASI juga menjadi poin penting, dimana orang tua harus memahami pilihan-pilihan makanan yang bergizi baik untuk pertumbuhan anak dan otak. Tidak perlu makanan kemasan atau makanan pabrik, makanan rumahan juga cukup baik.
“Makanan di rumah sudah cukup bagus. Misalnya, telur yang murah meriah dan gampang diperoleh, ikan, sayur-sayuran yang bisa dilunakkan atau dib[1]ender sesuai dengan tingkatan usia anak di bawah 2 tahun,” jelas Iflan.
Namun sambung dia, hal yang lebih penting lagi dalam upaya pencegahan stunting yaitu 1.000 hari pertama kehidupan. Pada masa ini, para calon ibu perlu untuk memahami pentingnya menjaga kesehatan, asupan, dan berolahraga dengan baik.
“Sehingga sel-sel telur yang dihasilkan oleh ibu dan sel sperma yang dihasilkan oleh calon bapak juga memiliki kualitas yang bagus dan sehat,” terangnya.
Selanjutnya, pada persiapan kehamilan yang juga harus dalam kondisi prima, kesehatan yang bagus, tidak stres, makanan-makanan yang dikonsumsi juga berkualitas tinggi. Makanan-makanan berkualitas tinggi ini tidak berarti harus mahal, bisa juga makanan yang mudah ditemui di sekitar tetapi memiliki kandungan gizi yang cukup baik.
“Di Aceh ini cukup banyak tersedia makanan berkualitas, seperti ikan, telur, kemudian sayur-sayuran. Makanan itu sangat baik sekali daripada kita memilih makanan junk food atau fast food. Makanan jenis itu membuat tubuh mengalami radang berkepanjangan, sehingga sel-sel tidak beregenerasi secara optimal,” katanya.
Kemudian pada saat usia kehamilan 3 bulan pertama. Pada masa kehamilan ini dikatakan Iflan, merupakan masa-masa penting perkembangan dari selsel otak saraf janin. Karena itu, penting memeriksakan diri ke bidan atau dokter spesialis kandungannya, agar diberikan asuhan atau pemahaman terhadap pentingnya menjaga kehamilan pada 3 bulan pertama.
“Bisa juga konsultasi ke dokter spesialis gizi, agar bisa diberikan menu atau pilihan-pilihan makanan untuk dikonsumsi sehari-hari yang dapat disesuaikan. Sehingga dengan kualitas kehamilan bagus ini, membuat janin yang lahir itu sehat dan berkembang dengan cepat,” ujarnya.
PENTINGNYA AKSES AIR BERSIH
Lebih jauh, Iflan Nauval juga menyampaikan tentang perlunya intervensi gizi sensitif yang harus diperhatikan dalam penanganan stunting, termasuk yang paling penting adalah suplai air bersih.
“Ini menjadi tantangan bagi semua pihak bahwa tidak semua masyarakat Aceh mendapatkan akses ke suplai air bersih,” kata dia.
Ia mengungkapkan, setelah diteliti intervensi gizi sensitif, suplai air bersih, sanitasi itu memiliki kontribusi 70 persen dalam menanggulangi atau mencegah stunting.
“Kalau dari segi kesehatan, kita memberikan vitamin A, kemudian makanan bergizi, itu kontribusinya sekitar 30 persen,” ungkapnya.
Iflan menyampaikan, stunting sebenarnya sangat multisektoral, tidak hanya sektor kesehatan, supporting dari yang lain seperti air bersih dan infrastruktur juga memainkan peranan yang sangat penting dalam pencegahan stunting.
Karena itu, masalah stunting ini tidak bisa kemudian ditumpukkan pada sektor kesehatan saja.
“Jadi mudah-mudahan, insya Allah angka stunting di Aceh akan terus menurun seiring dengan perbaikan infrastruktur, perbaikan suplai air bersih. Kemudian kesadaran masyarakat juga semakin bagus terhadap pentingnya pola asuh dan pemilihan makanan yang bergizi dan baik. Mudah-mudahan menjadi generasi Aceh yang unggul,” katanya.