Penulis : E. MUSLIH
Pegiat Demokrasi, Alumni FISIP Universitas Indonesia || Ketua HMI Cabang Depok 1998-1999
Konstelasi politik Tanah Air mulai menghangat menyusul penetapan 18 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal Aceh sebagai peserta Pemilu 2024 melalui Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 552 Tahun 2022 tentang perubahan atas Keputusan KPU Nomor 519 Tahun 2022.
Penetapan partai peserta Pemilu 2024 tersebut disertai pemberitaan kurang sedap terkait dugaan manipulasi data partai politik dalam sistem informasi partai politik (Sipol) yang menyebabkan beberapa partai politik tidak memenuhi syarat (TMS) sebagai peserta Pemilu 2024.
Saya tidak ingin melibatkan diri dengan meruaknya berita kurang sedap tersebut. Hal ini cukup menjadi early warning buat penyelenggara Pemilu untuk lebih berhati-hati dan secara sungguh-sungguh menjaga integritas dan profesionalitas.
Saya percaya pada adagium bahwa pemilu yang baik bukan pemilu yang tanpa cacat dengan nihil pelanggaran, tetapi pemilu yang baik adalah ketika pelanggaran terjadi dapat diselesaikan melalui koridor hukum sebaik-baiknya.
Pemilu sebagai Inti Demokrasi
Pemilu menjadi jangkar keabsahan penerapan demokrasi di suatu negara. Melalui pemilu, rakyat memiliki mekanisme secara berdaulat untuk memilih, mempertahankan, atau mengganti pemimpinnya secara bebas, hal yang tak dapat ditemukan dalam sistem politik non-demokratis.
Pemilu adalah sarana persaingan perebutan jabatan-jabatan politik dan transfer kekuasaan secara damai. Jika dulu kekuasaan diperebutkan melalui peperangan, kini kekuasaan diperebutkan dalam pemilu untuk memikat suara rakyat melalui visi, misi, dan program yang ditawarkan.
Oleh karena itu, pemilu sering kali dideskripsikan sebagai inti demokrasi yang menjadi sarana utama bagi individu untuk berpartisipasi dalam urusan publik. Partisipasi rakyat dalam urusan publik melalui pemilu merupakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilindungi instrumen hukum HAM internasional.
Dengan fungsi yang amat penting itu, pemilu wajib dikawal integritasnya. Dari sini muncullah istilah integritas pemilu (electoral integrity). Belum ada definisi integritas pemilu yang disepakati secara universal. Akan tetapi, Pippa Norris dalam Why Electoral Integrity Matters (2014) menyatakan integritas pemilu mengacu pada standar internasional dan norma global yang mengatur penyelenggaraan pemilu yang tepat.
Pendapat lain menyebutkan bahwa integritas pemilu dapat didefinisikan sebagai setiap pemilu yang didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi hak pilih yang bersifat universal dan persamaan politik sebagaimana tecermin dalam standar dan kesepakatan internasional, profesional, tidak memihak, serta transparan dalam persiapan dan administrasinya sepanjang siklus pemilu (Kofi Annan Foundation, 2012).
Integritas pemilu dapat diukur dengan melakukan analisis atas keandalan regulasi, tahapan, pembentukan daerah pemilihan, daftar pemilih tetap, pendaftaran partai politik peserta pemilu, pencalonan kandidat, pemberitaan media. Juga, dana kampanye, pemungutan suara, penghitungan suara, rekapitulasi suara, penyelenggara pemilu, peserta pemilu, dan tentunya masyarakat pemilih.
Meskipun demikian, dalam praktiknya subjek yang menjadi penentu suatu pemilu berintegritas atau tidak tertuju kepada penyelenggara pemilu.
Dalam konteks Indonesia ada KPU, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Karena itu, dugaan kecurangan yang melibatkan penyelenggara pemilu, jika tidak ditangani secara serius, dapat merusak bangunan pemilu berintegritas yang pada urutannya akan membuat kepercayaan publik terhadap hasil pemilu menyusut.
Antitesis dari integritas pemilu ialah malapraktik pemilu (electoral malpractice), yang dipahami sebagai tindakan ilegal yang dilakukan penyelenggara pemilu, partai politik, kandidat, atau pemilih yang dapat memengaruhi kelancaran pemilu di suatu negara.
Hal yang harus segera dilakukan para pemangku kepentingan di bidang kepemiluan ialah memastikan penanganan dan penyelesaian dugaan kecurangan yang merupakan malapraktik pemilu itu sesuai dengan koridor hukum yang tersedia.
Koridor hukum itu dapat meliputi sengketa proses pemilu yang akan diselesaikan Bawaslu. Pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu menjadi tanggung jawab DKPP. Jika ada indikasi tindak pidana dalam dugaan kecurangan, hal itu menjadi wewenang kepolisian untuk menanganinya.#